“Bagi saya, orang jujur di dunia ini sudah langka.
Jika orang lain tak bisa melestarikan kejujuran, mengapa bukan kita saja yang
melestarikannya? Bahkan suatu hubungan yang dijalani tanpa kejujuran pastinya
hubungan itu takkan sehat.”
Beberapa bulan berlalu. Penantian Nugi tentang pertemuannya dengan
Irena, wanita yang ia temui di kereta kala itu, ternyata tak kunjung terwujud.
Tak dapat dipungkiri, penantian itu berimbas juga terhadap perasaan serta sikap
Nugi kepada kekasihnya, Indah.
Selama penantian itu perubahan sikap Nugi terhadap Indah cukup drasti.
Namun, tak membuat Indah membalas sikap Nugi dengan cara yang serupa. Justru,
Indah membalas dengan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari sebelum
keberankatan Nugi.
Indah berharap dengan cara itu akan mampu membuat Nugi sadar, bahwa ia
berharap banyak dan mendambakan dapat menghabiskan sisa hidupnya bersama Nugi,
lelaki yang dicintai dan disayanginya dengan sepenuh hati, dibanding harus
bersanding dengan lelaki yang tak dicintainya dan juga bukan pilihan hatinya.
Begitu besar pengharapan Indah terhadap Nugi. Namun, itu tak membuat Nugi
menyadari betapa berartinya ia bagi Indah.
Beberapa hari yang lalu, ayah Indah sempat memberi kabar kepada Indah
bahwa keluarganya akan kedatangan tamu. Tamu itu merupakan sahabat lama dari
ayahnya, dengan maksud ingin bersilaturahmi, sekaligus memperkenalkan seseorang
kepada Indah.
“Minggu depan kamu ga ke mana-mana kan, Ndah?” tanya Ayahnya.
“Engga, Yah. Kenapa emangnya?”
“Ya bagus. Pokoknya kalau ada acara harus dibatalin. Minggu depan mau
ada tamu yang datang. Tamu itu sahabat Ayah.”
“Oh...” hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Indah. Sekaligus
perasaan tak enak mulai menjalari pikiran dan dirinya.
Hari yang dikabarkan ayah Indah pun akhirnya tiba. Sahabat sang Ayah
serta keluarganya pun sudah berada di rumah keluarga Indah. Indah pun
menghampiri saat ibunya memanggilnya ke kamar. Ia pun ikut kumpul dua keluarga
itu dengan berpenampilan rapih serta sapuan
make up yang natural.
“Ini Indah?” tanya sahabat ayahnya tersebut dengan heran.
“Iya, om.” Jawab Indah sambil tersenyum canggung. Ia pun mengambil
duduk tepat di samping ibunya.
“Beda banget ya sama dulu. Kayanya sekarang udah ga pernah lari-lari
ngejar layang-layang lagi ya.” Ucap sahabat ayahnya mengenang masa lalu sambil
tersenyum.
Sewaktu kecil indah memang sering sekali bermain layang-layang bersama
teman-temannya disebuah tanah lapang dekat rumanya. Hal itu membuat tubuh Indah
hitam dan rambutnya pun agak kemerahan karena sering terpanggang oleh terik matahari.
Namun seiring bertambahnya usia, Indah pun sadar bahwa ia harus bisa merawat
dirinya.
“Oh ya Indah,” kata ayahnya. “Kenalin ini Fadil.” Sembari menepuk bahu
seorang lelaki yang berada di sampingnya.
Lelaki itu pun mengulurkan tangannya kepada Indah. Ketika keduda tangan
itu berjabat mereka pun saling memperkenalkan dirinya. “Fadil.” Ucap lelaki itu
sambil tersenyum ramah.
“Indah.” Balas Indah dengan senyum yang dipaksakan.
Tak lama Indah dan Fadil pun ditinggal oleh orang tua mereka yang satu
persatu undur diri dari tempat itu. “Sepertinya
ini sudah direncanakan.” Ucap Indah dalam pikirannya.
Keheningan sempat menyelubungi mereka berdua. Hingga suatu dehaman
Fadil memecah hening di antara mereka. “Ehem...”
Indah hanya mendongakkan wajahnya ketika keheningan terusik.
“Gimana kabarnya?” ucap Fadil dengan intonasi canggung.
“Ya begini, sehat-sehat aja.” Jawab Indah dengan ketus.
“Hmm... sibuk apa sekarang, Ndah?”
“Ga sibuk apa-apa, cuman lagi duduk.”
“Kamu ngerasa risih?”
“Ya!”
“Oh...” Fadil merasa kaget dengan jawaban Indah yang begitu frontal.
Fadil terdiam sejenak, ia berusaha berpikir dan berhati-hati dalam berucap. “Maap
kalau begitu. Tapi jangan berpikir aneh-aneh, sebenarnya saya sudah punya
pasangan.”
Mendengar jawaban Fadil, membuat Indah menatap wajah lelaki itu dengan
rasa keheranan dan tak habis pikir. “Apa
maksud laki-laki ini kalo memang udah punya pasangan kenapa harus mau melakukan
ini.” Ucap pikiran Indah.
Fadil menangkap ekspresi keheranan dan keterkejutan Indah. “Tolong,
tolong jangan berpikir macam-macam dulu tentang saya.” Ucap Fadil sambil mengangkat
kedua tangannya tepat didadanya, lelaki itu berusaha membuat indah untuk tenang
dengan pikirannya. “Saya mau begini bukan karena apa-apa. Saya cuma nurutin
kemauan orang tua saya saja, biar mereka seneng. Lagian ga ada salahnya kalau cuman
sebatas menambah teman baru. Selain itu saya tak punya maksud lain, sungguh.”
Lanjut lelaki itu sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.
Mendengar ucapan lelaki itu tak membuat pikiran indah menerima begitu
saja penjelasan dari orang yang baru dikenalnya itu. “Tapi apa kamu ga mikirin
gimana perasaan passangan kamu kalau tau kamu dijodohkan seperti ini?” ucap
Indah masih dengan nada keheranannya.
Pertanyaan Indah membuat Fadil tertunduk dalam
duduknya. Dalam ketertundukannya, Fadil menjawab dengan pelan. “Dia tau.”
“Terus dia rela? Saya ga habis pikir, hubungan macam apa yang merelakan
pasangannya dijdohkan dengan orang lain sedangkan dirinya tau tentang itu?”
“Hubungan yang dijalani dengan rasa kepercayaan yang benar-benar muncul
dari hati bukan sebatas emosi.” Ucap lelaki itu. “Walau sebenarnya saya tau
hati kecil pasangan saya tersayat-sayat karena sedih mendengar kabar itu.”
“Terus kalau tau hatinya tersayat dengan kabar itu, kenapa kamu bilang
kalau kamu mau dijodohkan? Kamu itu bego atau tolol sih?” Hardik Indah pada lelaki itu.
“Dari pada saya harus sembunyi-sembunyi dan pasangan saya tau dari
orang lain, menurut saya itu lebih menyakitkan dibanding saya harus
mengatakannya sendiri. Jika dia marah itu resiko saya, tapi berkata jujur
kepada pasangan itu lebih melegakan saya. Dan saya pun tak ada maksud untuk
menghianati kepercayaan yang ia berikan.”
Indah kaget mendengar jawaban lelaki itu. “Kalau dia minta putus?”
“Ya saya bakal nahan dong. Saya bakal berusaha meyakinkan kalau
hubungan saya dengan wanita yang dikenalkan kepada saya hanya sebatas teman dan
ga lebih. Buktinya sekarang saya bilang ke kamu kan kalau saya sudah punya
pasangan.”
“Iya, sih.” Indah terdiam
mendengar jawaban dari lelaki itu.
“Bagi saya, orang jujur di dunia ini sudah langka. Jika orang lain tak
bisa melestarikan kejujuran, mengapa bukan kita saja yang melestarikan? Bahkan
suatu hubungan yang dijalani tanpa kejujuran pastinya hubungan itu takkan
sehat.”
“Lalu, apa alasan kamu mau dikenalkan dengan saya?”
“Udah saya bilang tadi, saya cuman ga pingin ngecewain orang tua saya.
Dan saya mau ketemu kamu pun bukan berarti saya bakal sama kamu juga kan? Saya
punya tanggung jawab moral sama pasangan saya saat ini, dan saya pun sudah
janji kalau pertemuan kita ini ga akan ngerusak hubungan saya sama dia, dalam
artian saya takkan tentu juga bakal jadi dengan kamu.”
“Lalu pasangan kamu percaya?”
“Iya, dia percaya.”
“Gila!” jawab Indah yang masih tak habis pikir dengan kegilaan yang ia
terima hari ini.
Hening menyelubungi mereka kembali.
“Kamu udah punya pacar?” Fadil mencoba memecah hening kembali.
“Udah.” Jawab Indah dengan ekspresi sedih.
“Oh baguslah. Tapi ko kenapa ekspresimu jadi sedih begitu ketika saya
tanya tentang pacar kamu?”
Indah tak menyadari ekspresi kesedihannya muncul begitu saja. “Eh..
engga apa-apa.” Jawabnya gelagapan.
“Oh maap saya udah terlalu lancang.”
“Iya ga apa-apa, lupain aja.”
“Kamu mau kan jadi temen saya?”
“Hah?”
“Ko’ kaget? Iya cuman temen ga usah lebih. Lagian kan kita kan sudah
punya hati masing-masing.”
“Oh...” Indah terdiam sejenak mencoba menimbang, ia terpikir dengan
ucapan lelaki tadi tak ada salahnya
menambah teman. “Boleh.” Jawabnya datar.
“Oke, terima kasih karena sudah diperkenankan. Saya minta maap kalau
sedari tadi saya sudah buat kamu risih.”
“Iya ga apa-apa, lupain aja.”
Keheningan menyelimuti mereka kembali.
Para orang tua yang sedari tadi sibur berbincang-bincang ternyata
sesekali memperhatikan anaknya. “Kayanya pada diem tuh Pak.” Ucap Ibu Indah
kepada suaminya yang sedang ngobrol dengan sahabatnya, ayah Fadil.
“Loh kok? Ya udah Ma, biarin
aja nanti juga ngobrol lagi. Mereka kan bukan ibu-ibu gosip yang ga pernah
kehabisan topik, apalagi mereka baru ketemu pasti masih pada canggunglah. Kaya
ga pernah muda aja.”
Jawaban ayah indah disambut gelak tawa dari dua keluarga itu.
Setelah lama diperhatikan rupanya mereka berdua hanya saling diam.
Akhirnya Ayah Fadil dan Istrinya menghampiri Fadil, diikuti dengan ayah Indah
serta istrinya.
“Udah mau pulang, Yah?” Tanya Fadil saat melihat ayah dan ibunya
mendekat.
“Iya, Ayah sama Ibu mau pulang. Tapi kalau kamu masih mau di sini ya
ijin saja sama Om dan juga Indah, siapa tau Indah ada kegiatan lain.” Ucapnya
sambil memandang ke arah ayah Indah dan juga Indah.
“Ah... engga, Fadil ikut pulang aja.”
Mereka bertiga pun pamit undur diri dari rumah keluarga Indah.
Setelah keluarga Fadil pamit, Indah pun kembali ke kamarnya. Tak ada
gurat ekspresi senang diwajah Indah yang ada Indah malah terlihat murung. Indah
teringat dengan Nugi.
“Apa kabar dia di sana? Yakin dia
ujah jujur padamu, Ndah? Seperti jujurnya si Fadil itu sama pasangannya?”
pikirannya berucap secara liar. Entah apa pula yang membuat pikiran Indah
dengan lancang membandingkan Nugi dengan Fadil. Apa benteng pertahanan hati
Indah mulai goyah dengan bombardir kegilaan kejujuran dalam hubungan yang Fadil
jalani dengan kekasihnya.
Tak lama setelah Indah kembali ke kamarnya, ibunya pun menghampiri.
“Gimana, Ndah?”
“Apanya yang gimana, Bu.” Jawab Indah dengan malas.
“Cocok?”
“Engga,” ucapnya datar.
“Ya jangan jadiin pasangan dulu, jadiin temanmu aja ga ada salahnya kan?”
“Iya emang cuman teman Bu. Dan ga akan lebih.”
“Iya. Kenali saja dulu. Siapa tau saling cocok kan.”
“Apa sih, Bu. Udah ah Indah males bahasnya.” Indah memasang raut wajah
tak nyaman.
Melihat hal itu, Ibunya pun hanya senyum dan pamit ke pergi dari kamar Indah.
***
Beberapa hari berselang.
Tring... pemberitahuan sebuah
pesan baru, masuk ke ponsel milik Indah. Pesan masuk itu berbunyi “Hay indah?”
“Siapa sih ini orang ga
jelas.” Ucapnya setelah melihat isi pesan masuk itu. Namun karena nomor
pengirim tak ia ketahui. Indah pun menghiraukan pesan itu.
Tak lama berselang, kembali masuk pesan baru ke ponselnya tring....
Indah melihat nomor pengirim pesan tersebut ternyata sama dengan nomor
yang tadi ia hiraukan. “Hay, Indah? ini saya, Fadil. Minggu ini ada acara?”
Bunyi pesan baru tersebut.
“Aduh! ini orang mau apa lagi sih?” pikir Indah dengan kesal, namun ada
rasa yang tak karuan mengiringi rasa kesalnya yang hadir begitu saja.
“Oh saya kira siapa, ga ada kayanya.” Balas Indah dengan seperlunya.
“Ah kebetulan, boleh minta tolong?”
“Buat?”
“Selasa depan pacar saya ulang tahun, bisa minta tolong temani saya
untuk mencari hadiah buat ulang tahun dia?”
“Oh.”
“Bisa?”
“Ga tau.”
“Tolong dong, serius saya engga akan macem-macem. Saya cuman mau minta
tolong bantu saya pilihkan kado saja, saya bingung memilihnya.”
“Ga bisa ngajak orang lain emangnya? Kenapa mesti saya?”
“Saya engga punya temen cewe, temen saya cowo semua dan mereka engga
ada yang paham urusan beginian.”
“Maap saya sibuk.”
“Tolong dong, saya ga pingin ngasih kado yang salah.” Balas Fadil
dengan emoticon sedih.
“Saya ga bisa. Ajak orang lain aja.”
“Orang lain siapa? Saya ga punya temen cewe. Oke deh biar adil saya
bakal teraktir kamu di tempat ngopi kesukaan kamu, gimana?”
Indah merasa heran dengan tawaran lelaki itu. “kenapa dia bisa tau aku punya tempat kopi favorit?” ucap pikirannya,
namun di balik itu entahlah indah merasa senang dengan tawaran lelaki itu.
Namun ia tetap berusaha menyembunyikan kesenangannya.
“Apa? Kamu mau nyogok saya?” balas Indah
“Duh! Bukan begitu maksudnya.
Tapi itu sebagai balas jasa kalau kamu mau menemani saya nyari kado buat pacar
saya.”
Indah berpikir sejenak, ia pun merasa dirinya kurang piknik dan butuh
sedikit udara segar. Tak ada salahnya jika ia menemani Fadil mencari kado untuk
ulang tahun kekasihnya. lagian hatinya pun sepenuhnya milih Nugi.
“Tapi janji ya ga akan macem-macem dan aneh-aneh?”
“Iya, saya janji.”
“Oke deh kalau begitu, saya mau antar kamu cari hadiah ulang tahun buat
pacar kamu.”
“Bener ya?”
“Emang saya tukang bohong sampai harus ditanya seperti itu?”
“Eh... engga, bukan gitu maksudnya, saya cuman mau mastiin aja kalau
saya ga mimpi.”
“Iya bener.”
“Oke sampe ketemu nanti minggu, ya. Nanti saya jemput ke rumah.”
“Oke.”
Rasa senang yang tak bisa didefinisikan begitu saja hadir dalam hati
Indah. Namun, ketika ia menyadari kehadiran rasa itu Indah berusaha
mengenyahkannya jauh-jauh.
“Ko aneh ya. Bahaya, api ini
mesti segera dipadamkan, ini bukan tempatnya.” Pikirannya berucap.
“Nugi, ini ga akan lebih dari
sebatas teman, aku janji, maap.” Batinnya berucap.
***
Hari yang sudah mereka perjanjikan pun tiba.
Seperti yang sudah dikatakan, Fadil pun menjemput Indah ke rumahnya.
“Hay? Tunggu sebentar ya, saya siap-siap dulu.”
“Berapa menit nih?” tanya Fadil dengan intonasi bercanda.
“Ah ga lama, bentar ko. Duduk aja dulu.” Indah pun kembali ke kamarnya.
Meskipun Indah berusaha menutupi rasa bahagianya sekuat diri, namun rasa
bahagia yang natural itu tak dapat disembunyikannya dengan rapih.
“Eh ada Fadil,” sapa Ibu Indah.
“Iya tante.” Jawabnya tersenyum.
Mereka pun berbasa-basi sambil menunggu Indah selesai bersiap-siap.
10 menit Fadil menunggu, akhirnya Indah pun sudah siap. Ia pun
menghampiri Fadil yang sedang ngobrol dengan Ibu dan Ayahnya. “Ayo.”
“Yuk.” Jawab Fadil pada Indah. “Ya udah Om, Tante, Fadil ajak Indah
jalan dulu ya,” ucap Fadil mohon pamit kepada kedua orang tua Indah.
“Iya, hati-hati ya Dil, tolong jaga Indah.” Ucap Ibu dan Ayahnya.
“Siap, Om, Tante. Kalo gitu kita pergi dulu, Assalamualaykum...” pamit Fadil diiringi Indah.
Fadil dan Indah pun menghampiri mobil Fadil dan mulai menapaki jalanan
kota menuju sebuah tempat perbelanjaan di kota itu.
“Udah tau mau ngasih kado apa?” tanya Indah sewaktu mereka sudah di
jalan.
“Belum hahaha...”
“Lah?” Indah heran. “Ko bisa
belum? Terus kamu mau ngasih apaan jadinya?”
“Belum tau, masih bingung. Kamu punya saran? Hehehe.”
“Hmmm....” Indah mengerutkan keningnya, ia sedang berusaha berpikir.
“Pacar kamu tomboy atau feminim?”
“Dia ga terlalu tomboy ga terlalu feminim juga.”
“Hobinya?” Indah mencoba mengorek sedikit informasi.
“Hmmm.... apa ya....” Fadil mencoba berfikir. “Dia suka baca novel,
sampai kadang suka lupa waktu dan lupa segalanya.”
Mengingat tentang waktu, Indah teringat dengan pemberiannya kepada
Nugi. sebelum kekasihnya itu pergi ke Bandung.
“Gimana kalau kasih jam tangan aja?”
“Hah?” Fadil heran. “Kenapa?
Emang cewe bakal seneng dikasih jam tangan?”
“Apapun yang dikasih sama orang yang spesial dihatinya, pasti cewe
bakal seneng nerimanya.” Terang Indah. “Apalagi kalau ngasih jam tangan itu
kamu sambil kasih filosofinya.” Lanjutnya.
“Emang apa filosofisnya?” Fadil kelihatan bingung.
“Kasih tau ga yaaaa......?????” ucap Indah sambil menggoda Fadil.
“Hadeh... tolong deh jangan
bikin saya berbuat macem-macem nih.”
“Ih... kamu mau apa, jangan
macem-macem! saya teriak nih.”
“Eh... ya jangan teriak juga.
Ga ko ga apa-apa.”
“Hahaha.... lucu ya ekspresi kamu kalo lagi kebingunan gitu.”
“Hah? Apa? Lucu?” Fadil kaget mendengar ucapan Indah. “Cie... yang diem-diem merhatiin, awas
baper loh. Hahaha...” Goda Fadil.
“Eh...” Indah terkesiap menyadari apa yang tadi dia ucapkan. “E..engga
ko engga bukan gitu maksudnya.” Indah terlihat menjadi salah tingkah.
“Hahaha... ya udah apa itu filosofis dari ngasih jam?” tanya Fadil
mencoba menyelamatkan Indah dari salah tingkahnya.
“Itu biar... mmmm..... biar....” Indah berusaha mengatur kata-katanya
yang seketika buyar karena kejadian tadi.
“Biar apa?” tanya Fadil tak sabar.
“Biar cewe kamu ga pernah ngerasa sendiri kalau ke mana-mana dan pake
jam itu, karena kalo dia pake jam itu dia bakal ngerasa tangannya selalu kamu
genggam.”
“What? Dalem banget, ko saya ga
kepikiran ya?” ucap Fadil sambil bertanya pada dirinya sendiri.
Mendengar hal tersebut Indah hanya bisa tersenyum, ia senang karena
telah mampu membantu orang lain dari kesusahannya. “Hehehe...”
“Oke kalo gitu kita cari jam aja, udah itu kita ngopi di tempat
kesukaan kamu.” Kata Fadil.
Mereka pun segera berangkat ke tempat penjual jam yang berada di salah
satu pusat perbelanjaan. Dan menentukan jam yang akan diberikan Fadil kepada kekasihnya
dengan pilihan dari Indah.
***
Selesai membeli kado untuk kekasihnya, Fadil pun menunaikan janjinya
kepada Indah, yaitu menteraktir kopi di kafe favorit Indah.
Indah yang sebelumnya penasaran mengapa Fadil yang bisa mengetahui
bahwa ia adalah penggemar kopi, dan tau tempat ia biasa menikmati kopi
kesukaannya pun akhirnya menanyakan pertanyaan yang terus bergumul dalam
pikirannya. “Kamu tau dari mana kalau saya suka kopi?” tanya Indah membuka
percakapan.
“Dari Ibu mu.”
“Oh... terus tau saya suka ngopi di sini dari mana?” tanyanya masih
penasaran.
“Hmmmm..... dari intelejen pribadi saya.”
“Ih serius.” Tanya Indah memasang ekspresi cemberut, berharap dengan
jurus itu Fadil mau terbuka padanya.
“Serius ko. Saya juga tau kalau kamu penyuka drama korea, penyuka Kahlil
Gibran, sering nulis puisi-puisi sendu romantic gitu kan?” Ucap Fadil dengan
santai.
“What?” Indah terkejut,
mengapa orang ini bisa tau banyak tentang dirinya, sedangkan komunikasi saja
tak pernah kecuali ketika Fadil meminta diantar untuk membeli hadiah. Dan Ibu
nya pun tak mungkin tau sespesifik itu karena Indah bukan tipikal orang yang
selalu bercerita kepada keluarganya tentang dirinya.
“Ko kaya yang kaget gitu?” tanyanya dengan merasa menang.
“Ga apa-apa, cuman heran aja ko kamu bisa tau banyak gitu.”
“Intelejen saya berarti terpercaya dong kalo gitu.”
“Ga! Tapi ternyata selama ini kamu kepo tentang saya hahaha.” Indah
berbalik merasa menang dari Fadil.
Seketika Fadil terlihat kaget ketika mendapati seorang wanita dengan
seorang lelaki sedang duduk berdua sambil menikmati minumannya. Yang sesekali
diselingi senyuman dan rangkulan. “Siapa
laki-laki itu?” tanya Fadil dalam pikirannya.
Indah menangkap ekspresi keterkejutan Fadil. “Hey kenapa? Ko malah
bengong?”
“Eh... engga apa-apa.” Fadil tersadar, ia mencoba mengkontrol dirinya
sejenak.
“Kenapa sih Dil?” tanya Indah
masih penasaran.
“Itu ada pacar saya, sama temennya di sana.” Ucap Fadil sambil berusaha
mengatur dirinya agar terus tenang. “Ke sana yu?” Fadil mengajak Indah.
Indah memperhatikan sejenak sikap kedua orang yang akan dihampiri
Fadil. “Kayanya mereka bukan sebatas
temen.” Ucap pikirannya. “Tunggu aku habisin kopi ku dulu.” Indah pun
menyeruput kopinya sampai habis. “Ayo.”
Mereka berdua pun berjalan menuju tempat yang dituju Fadil.
“Hay Vin?” sapa Fadil kepada kekasihnya Vina yang sedang asik ngopi
dengan seorang lelaki.
Vina terkejut mendengar suara khas lelaki yang sangat tak asing
ditelinganya. “Eh He..ey.” sahut Vina kepada Fadil.
“Siapa yank?” tanya lelaki yang sedang sama Vina.
Fadil merasa terguncang mendengar sapaan lelaki itu kepada Vina. Namun
ia terus berusaha mengkontrol dirinya. Tanpa perlu menunggu penjelasan dari
Vina, Fadil langsung memperkenalkan dirinya kepada lelaki itu. “Hey, saya
Fadil. Temennya Vina. Dan Ini teman saya, Indah.” Ucap Fadil dengan senyum yang
berusaha terus ia atur agar tak terlihat kemurkaannya kepada lelaki itu ataupun
pada Vina.
“Oh temen, yuk mari gabung.”
Pinta lelaki itu kepada Fadil. Vina hanya diam tak berkata apa-apa, sesekali ia
membuang muka dan tertunduk tak berani menatap Fadil secara langsung.
“Makasih, mungkin lain kali aja, sekarang saya lagi buru-buru soalnya
masih ada urusan. Tadi ke sini tu
gara-gara kaya yang kenal, makanya saya sapa aja, ternyata bener temen saya.”
“Oh begitu, padahal kalo ga buru-buru masih ada kursi, sekalian
ngerayain aniversari kita satu tahun.
Ya walau ga banyak cuman ngopi-ngopi aja sih.”
Jawab lelaki itu sambil tersenyum ke arah Fadil.
“Iya maaf banget, mungkin lain kali.” Fadil berusaha terus tersenyum
dan mengontrol emosinya. “Ya udah kalo gitu, kita pamit dulu ya. Semoga langgeng
hubungannya, Mas dan Vina. Mari.” Pamit Fadil sambil berlalu bersama indah
setelah melihat senyum bahagia dari sang lelaki dan senyum yang dipaksakan dari
Vina.
***
Sesampainya di mobil.
“Kamu tegar banget ya Dil.” Tanya indah dengan tak habis pikir dan
sedikit takjub.
Fadil yang sedang menatap keluar jendela dengan tatapan kosong
mendongak ke arah Indah. “Hah?”
“I...iya itu tadi kenapa kamu ngaku temen segala, bukannya tadi kamu
bilang ke saya kalau cewe pacar kamu?” ucap indah berhati-hati karena tak ingin
jadi sasaran pelampiasan amarah Fadil.
Fadil mendiamkan sejenak pertanyaan Indah. Indah pun tak berani meminta
jawaban atas pertanyaannya kepada Fadil.
Setelah cukup lama Fadil hening, ia pun angkat suara. “Saya sebenarnya
kesal, saya pingin marah, tadinya mau saya hajar itu cowo. Tapi saya mikir cowo
itu pasti ga tau kalo Vina udah punya pacar. Bukan cowonya yang salah, tapi
cewenya yang mau buka hati buat siapa saja.”
“Ko gitu? Bisa aja itu cowo tau kalo pacarmu udah punya kamu.” tanya
Indah bingung.
“Ya oke lah itu cowo tau Vina
udah punya pacar, tapi tetep kalau Vina ga buka pintu buat tu cowo masuk ga
mungkin juga cowo itu bisa masuk.” Ucapnya dengan nada sedikit meninggi.
Indah memaklumi hal itu, karena dia sadar pasti kesal sekali jika ada
diposisi Fadil.
“Ah... maap Ndah, bukan
maksud saya marah ke kamu.” Fadil terlihat sedikit tak enak kepada Indah.
“Iya ga apa-apa Dil. Saya paham.” Ucap indah sambil mengusap punggung
Fadil.
Fadil hening kembali seperti sedang mengatur pikirannya agar tak
terarah emosi.
Indah merasa pernyataan Fadil masih menggantung. “Mmmm.... kenapa ga
kamu labrak aja si Vina nya? Atau ngaku aja kalo kamu itu pacarnya?”
Fadil menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dalam satu kali
hembusan. Ia berharap dengan cara itu pikiran dan jiwanya bisa tenang. “Mana
mungkin juga saya menghardik Vina? Dia seorang cewe, bisa-bisa saya dikata
banci berani menghardik perempuan. Dan lebih dari pada itu, saya sudah sangat
kecewa dengan apa yang saya terima dari Vina. Lebih baik saya mundur dari pada
harus merusak hubungan mereka. Makanya saya mengaku sebagai teman Vina, toh
semenjak mendengar kata sapa ‘yank’
dari cowo itu ke Vina saya rasa kalo saya dan dan Vina udah ga ada apa-apa.”
“Salut dan bangga banget saya sama kamu, Dil.” Ucapan itu terucap begitu
saja oleh Indah, sambil mengusap bahu Fadil.
Mendengar ucapan Indah, Fadil terkejut sambil menatap heran wajah Indah.
Indah yang menyadari itu langsung meralat ucapannya. “Eh... maap, maap
banget. ga ada maksud apa-apa ko.”
“Kamu lucu kalo udah gelagapan gitu.” Ucap Fadil sambil tersenyum.
Mendengar ucapan itu Indah tersipu malu.
“Ya udah kita pulang aja ya, aku pusing butuh istirahat.” Pinta fadil. “Maaf
acara ngopinya jadi kurang nikmat.”
“Oh iya, ga apa-apa ko. Kamu masih sanggup kan bawa mobilnya?”
“Hahaha sanggup ko, tenang aja kamu bakal saya antar dengan selamat ko.”
Mendengar ucapan Fadil indah hanya tersenyum. “Hehe...”
***
Setibanya di rumah Indah, setelah bertemu dengan Ayah dan Ibu Indah
Fadil langsung pamit diri.
“Om, Tante, Fadil pamit dulu ya. Makasih udah ngebolehin Indah nemenin
Fadil, hari ini.” Pamit Fadil kepada orang tua Indah.
“Ga mampir dulu Dil?”
“Engga Om, mungkin lain kali. Soalnya sekarang masih ada yang mesti diurus
hehehe. Mari Om, tante, Indah.” Pamit Fadil.
“Iya Dil hati-hati.” Ucap kedua orang tua Indah.
Dengan diiringi Indah, Fadil menuju mobilnya. “Makasih ya, Ndah buat hari
ini. Sekali lagi maap kalo tadi saya sempat agak tinggi nada bicaranya dan maap
juga ngopinya jadi kurang nikmat.”
“Iya Dil, sama-sama. Ga apa-apa ko. Kamu jangan down ya gara-gara ini, kamu kan masih punya temen, kalo ada-apa-apa
kamu bisa kabari aku aja.”
“Hah? Aku?” canda Fadil. “Ko
berasa aneh ya hehehe.”
“Aneh kenapa?” semu merah dipipi Indah kali ini tak bisa disembunyikan.
“Ah ga apa-apa, lupain aja. Oh iya, Ndah. Ini buat kamu aja.” Ucap Fadil
sambil memberikan jam yang tak akan pernah ia diberikan kepada Vina itu.
“Loh ko?”
“Dari pada aku buang, sayangkan. Mending kamu pake aja. Lagian aku sama
Vina sekarang udah ga ada apa-apa.”
“Tapi kenapa mesti aku?”
“Aku kan sempet bilang, kalo aku ga punya temen cewe. Ya kecuali kamu sih. Makanya ya udah jam nya mending aku
kasih kamu aja. Dari pada aku buang. Tolong jangan liat ini awalnya akan
diberikan untuk siapa, tapi anggap aja ini tanda pertemanan aku sama kamu kalau
nanti aku ga ada.”
Indah masih terdiam, entahlah mendengar perkataan Fadil tadi hatinya
mendadak sedih. “Maksud kamu kalau kamu ga ada?”
“Ga apa-apa, Ndah. Lupain aja. Udah nih
ambil, tolong jaga baik-baik ya.” Ucapnya sambil tersenyum tulus.
“I..i-iya Dil, makasih.”
Fadil pun menginjak pedal gas mobilnya dan mulai menapaki jalanan aspal
kota itu, sembari diiringi dengan pandangan indah dengan tangan yang mendekap
jam pemberian Fadil tepat didadanya.
Wih...
BalasHapusSemangat terus mas.
Aku masih belum bisa nulis sepanjang ini hehe
Hahaha makasih mbak, ayo lah mulai menulis panjang lagi biar pikiran dan hati lebih tenang hehe
Hapus