Berniat untuk melakukan daftar
ulang, di waktu pagi menjelang siang itu Nugi sudah tiba di kampus barunya. Sembari
menggendong ransel yang hanya dikaitkan disebelah pundaknya, dengan penuh
rasa semangat Nugi melangkahkan kaki menuju tempat daftar ulang.
“Pak, permisi?” sapa Nugi kepada
seorang satpam.
“Iya, ada apa mas?” sahut si
satpam.
“Kalau mau pendaftaran ulang
mahasiswa baru di sebelah mana ya pak?”
“Di sana mas,” tunjuk si satpam
ke gedung yang berada tepat di belakang rektorat kampus itu. “Nanti mas naik
aja ke lantai tiga, di situ nanti ada petunjuk arahnya ko, mas.” Lanjut si
satpam menjelaskan.
“Baik pak, terima kasih.”
Jawab Nugi, ia pun langsung melangkah menuju tempat yang ditunjukkan oleh
satpam tadi.
Setibanya di lantai tiga, Nugi
mengikuti petunjuk arah yang akan menggiringnya ke tempat daftar ulang mahasiswa
baru.
Terlihat sudah cukup banyak
mahasiswa baru yang mengantri untuk melakukan daftar ulang. Nugi pun melangkah
menghampiri orang-orang yang sedang berkerumun itu.
Sebelum tiba dikerumunan orang
itu, Nugi berpapasan dengan beberapa orang wanita. Nugi pun mendekati mereka untuk
menanyakan agar ia merasa tak salah tempat.
“Maaf, mbak?” sapa Nugi.
Seorang wanita yang ada di
paling belakang rombongan itu terhenti dan berpaling ke arah Nugi, sedangkan
yang lain menghiraukannya dan terus berjalan.. “Hmm... ia kenapa mas?”
“Itu tempat daftar ulang
mahasiswa baru kan?”
“Iya mas,” jawab wanita itu.
“Mas mahasiswa baru juga?” balik wanita itu bertanya.
“Iya mbak.” Jawab Nugi dengan
ramah.
“Jangan lupa mas persyaratannya
dikumplitin dulu, supaya ga pulang pergi,” ingatkan wanita itu.
“Sudah sih kalo berkas-berkas yang harus di foto copy,” jawab Nugi sambil
mencoba mengingat-ingat. “Ada persyaratan tambahan lainnya lagi mbak?” tanya
Nugi.
“Materai 6000 buat surat
pernyataan dua biji, mas.” Tutur wanita itu.
Nugi tak tau ternyata harus
membawa materai dua, ia hanya membawa satu. “Oh begitu, saya cuma bawa satu sih, kira-kira di sini tempat beli
materai di mana ya mbak?”
“Ya udah, yuk bareng aja mas, kebetulan saya juga mau ke
foto copyan, biasanya sih materai ada
di foto copyan.” Ajak wanita itu kepada Nugi.
Nugi pun melangkah bersama
dengan wanita itu menuju fotocopyan yang berada di sekitaran kampus. Namun
karena di tempat wanita itu mem-foto copy materainya habis, akhirnya merekapun
berpetualang dari satu tukang foto copy ke tukang foto copy yang lainnya.
“Mbak nyari matertai juga?” tanya Nugi dengan basa-basi.
“Iya mas, soalnya aku lupa
kemarin ga sempet beli.”
“Oh iya, sedari tadi kita
ngobrol dan jalan bareng belum sempet kenalan.” Ucap Nugi. “Saya Nugi, kalo
mbak?” tanya Nugi pada wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Iya ya, saya juga lupa,” sahut
wanita itu sambil tersenyum. “Saya Rena.” Jawab wanita itu sambil menyambut
uluran tangan Nugi.
“Jurusan apa mbak?” tanya Nugi.
“Hukum, kalo masnya?”
“Lah masa sih?” ucap Nugi spontan.
“Iya, kenapa mas?” tanya Rena
dengan menunjukkan ekspresi sedikit murung. “Ga kemukaan ya aku masuk jurusan
hukum?” Sebenarnya bagi Rena dikata wajahnya tidak cocok untuk masuk jurusan
hukum adalah hal yang biasa, karena teman-temannya sering mengatakan demikian.
Namun tetap saja ada rasa sakit ketika orang mengatakan demikian kepadanya.
“E..engga mbak, bukan gitu.”
Jawab Nugi sambil menggoyangkan kedua telapak tangan di dadanya serta
diselimuti rasa bersalah. “Cuman kok
bisa sama jurusannya.” Lanjut Nugi sambil tersenyum canggung.
Mendengar jawaban Nugi, Rena pun
terkejut. “Oh ya?” disambut tawanya Rena yang pecah. “Kok bisa kebetulan gini ya?”
“Iya saya juga ga tau mbak.”
Jawab Nugi dengan ikut menertawai keadaan. “Mungkin udah takdir Tuhan.” Mendengar jawaban Nugi, Rena hanya bisa ikut tertawa tanpa menjawab apa-apa.
Setelah materai yang mereka cari
di dapat, mereka pun melangkah bersama untuk kembali ke gedung tempat daftar ulang mahasiswa baru. Mereka pun terus bersama-sama hingga
selesai melakukan proses daftar ulang itu.
Setelah mereka selesai melakukan
pendaftaran ulang, mereka pun memutuskan untuk pulang.
“Sekarang mau ke mana, Gi?”
tanya Rena.
“Pulang Ren, kalo kamu?”
“Sama, aku juga mau pulang,
soalnya udah ga ada tujuan lagi sih.”
“Pulang pake apaan?”
“Bis kota, kalo kamu?”
“Sama aku juga pake bis kota.”
“Ya udah bareng aja ke depannya
yuk?”
“Ayuk.”
Merekapun melangkah bersama lagi
menuju gerbang utama kampus tersebut. Kebetulan arah pulang mereka pun sama,
memaksa Rena akan terus bersama-sama dengan Nugi hingga turun dari bis kota.
Saat menaiki bis kota, ternyata
kursi sudah terisi penuh, hanya menyisakan satu tempat duduk. Sebagai seorang
lelaki, Nugi mempersilahkan Rena untuk duduk.
“Duduk, Ren.” Ujar Nugi
mempersilahkan.
Namun, Rena menolak dan memilih
untuk berdiri sambil berpegangan ke pegangan yang telah disediakan. “Engga, Gi.
Kamu aja kalo kamu mau duduk.”
Namun, Nugi memilih untuk
berdiri sambil berpegangan ke besi pegangan yang tersedia.
Selama di perjalanan, Rena dan
Nugi banyak ngobrol satu sama lain. Mengetahui bahwa Nugi baru pertamakali ke
Bandung, selama diperjalanan Rena menjadi seperti seorang tour guide dadakan bagi Nugi.
Tanpa disadari kadang-kadang dari
candaan yang mereka lontarkan membuat mereka tertawa bersama. Tawaan itu
sesekali dibarengi dengan tepukan-tepukan pelan dan cubita-cubitan kecil di antara
mereka.
“Sebentar lagi aku turun, Gi. Kalo kamu, masih jauh?”
“Lumayanlah.”
“Ya udah hati-hati ya,”
“Iya Ren. Hmmm...” ada kata yang
tertahan di dinding mulut Nugi.
“Kenapa?” tanya Rena yang
menyadari itu.
Dengan memberanikan diri Nugi
meminta kontak Rena, walaupun ia tak berniat lebih dari sebatas teman. Namun, Nugi tetap merasa segan untuk meminta. “Boleh minta kontaknya Ren?
Biar kalo ada apa-apa bisa tanya-tanya.” Ujar Nugi.
“Oh itu, boleh... boleh...”
jawab Rena sambil mengeluarkan pulpen dan notebook dari tasnya, lalu menggoreskan
pulpen itu ke notebooknya dan mensobekan secuil kertas yang bertuliskan nomor
telfonnya itu. “Nanti hubungi aja kalo ada apa-apa.” Ucap Rena saat memberikan
kertas itu kepada Nugi.
“Oke, makasih Ren.” Ujar Nugi.
“Ya udah aku duluan ya. Hati-hati,
awas kelewat tujuannya.” Pamit Rena sambil melempar senyum, lalu ia melangkah
ke depan mendekati pintu untuk turun.
Mendengar ucapan Rena, Nugi tak
menjawab apa-apa dan hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Freddy Mercury bernyanyi di HP
Nugi, pertanda adanya telpon masuk. Saat ia lihat ternyata itu telpon dari
kekasihnya, Indah. “Hallo... Gimana sayang hari ini ke kampusnya?”
“Hallo juga sayang, Alhamdulillah lancar kok sayang.” Jawab
Nugi.
“Ya udah, jaga kesehatannya ya
sayang, jangan sampe sakit.”
“Iya sayang. Makasih udah
ngingetin.” Jawab Nugi. “Nanti aku telpon lagi ya sayang, aku mau ke luar dulu
sama Arga.” Pinta Nugi.
“Iya sayang, hati-hati.”
Sambungan telpon pun terputus.
Nugi sedang tak ingin diganggu oleh siapapun, dia hanya ingin keheningan, sambil
menikmati buku peninggalan “Irena”, wanita yang ia temui di kereta beberapa waktu
lalu.
Untukmu aku ingin hening, seakan-akan kau tiada.
Dan kau mendengarku dari kejauhan dan suaraku tak menyentuhmu.
Tampak seakan-akan sepasang matamu telah terbang.
Dan tampak sakan-akan sebuah ciuman telah menyegel mulutmu.[1]
Membaca penggalan sajak itu membuat
Nugi semakin ingat kepada Irena. Hanya untuk membaca dan meresapi buku
peninggalan wanita itu, Nugi mengesampingkan telpon kekasihnya, Indah. Yang
mungkin saja di sana Indah sedang dilanda badai rindu yang begitu sangat kepada
Nugi.
Sedangkan di Bandung, Nugi
sedang dihantam badai rindu kepada wanita lain, wanita yang sudah mencuri hati
dan rasanya saat pertamakali bertemu di kereta pengantarnya ke tempat yang saat
ini tanahnya ia pijak.
Suasana saat itu begitu hening.
Arga sudah terlelap dalam tidurnya. Nugi yang dilanda rindu yang sangat besar akhirnya
memutuskan untuk nongkrong di teras kontrakan Arga.
Sembari menatapi langit yang
bertabur bintang, dan menikmati belaian angin malam, ia berbisik kepada angin
tentang kerinduannya kepada sosok “Irena” seorang wanita yang ia temui di
kereta sewaktu akan ke Bandung.
Sambil sesekali menyeruput
kopinya yang tersaji di meja, malam itu Nugi terus memandangi langit. Tiba-tiba
saja, ia melihat sebuah bintang jatuh,
yang kata orang-orang jika memohon saat melihat bintang jatuh, maka keinginan
dan doa yang kita ucapkan sebelum bintang itu menghilang akan terwujud.
Dengan sigap Nugi langsung
berbisik pelan dan khidmat karena ungkapannya penuh dengan harapan yang
membuncah dalam diri dan juga hatinya. “Semoga
kita bisa bertemu Irena.” gumam Nugi dalam doanya sembari membayangkan wajah wanita yang ia temui di kereta kala itu.
***
Tring... notifikasi pesan masuk berbunyi di HP Renvy. Ia pun meraih
telpon genggam yang tergeletak tak jauh dari dirinya.
“Ren, buku Sayap-Sayap Patah gue ada di lu kan?” bunyi pesan yang masuk ke telpon genggam Renvy, pesan itu
dari Indi, sahabat Renvy.
Renvy bingung menjawab
pertanyaan itu, ia tak mengira akan secepat ini sahabatnya menagih buku
miliknya. “Indi sorry nih, buku lu ketinggalan di rumah tante gue.” Balas Renvy kepada sahabatnya Indi
dengan menyertakan emoticon menyesal.
Tak lama pesan balasan dari
sahabatnya pun masuk kembali. “Yah,
serius Ren? Jangan bercanda ah. Gue
lagi butuh banget nih.” Bunyi pesan
balasan dari Indi disertai dengan emot
sedih.
“Gue serius In, waktu itu gue
buru-buru gara-gara takut ketinggalan kereta. Maaf banget ya my honey.” Balas Renvy dengan emoticon
sedih pula.
“Hmm... ya sudah deh kalo gitu,
mau gimana lagi.”
Renvy menyadari bahwa
sahabatnya merasa kecewa, namun ia tahu bahwa Indi tak bisa menunjukkan
kekecewaannya kepada siapapun, karena Indi akan selalu merasa sungkan jika
harus bersikap berbeda kepada orang lain, terlebih kepada sahabatnya sendiri.
Entahlah malam itu sudah berapa
puluh ribu kali Renvy memikirkan lelaki yang ia temui di kereta yang
mengantarkannya pulang ke Bandung. Lelaki itu menghadirkan kembali keceriaan
yang sebelumnya sempat hilang dari hidup Renvy.
Semenjak pertemuannya dengan
lelaki itu, kenangan-kenangannya bersama lelaki yang sempat memporak-porandakan hatinya hingga menimbulkan luka
yang mendalam dan teramat perih kepada Renvy, seketika sirna dan tak pernah
kembali.
Sebelum pertemuannya dengan
lelaki di kereta itu, setiap kali Renvy menelusuri jalanan kota Bandung, kenangan-kenangannya
dengan lelaki yang telah berlalu itu selalu sigap menyerbu pikirannya, yang
tanpa sadar membuat pipi Renvy selalu basah oleh rintikan air mata.
Bukan hanya itu, bahkan jika ia
memandangi kursi-kursi yang berada di ruang tamu rumahnya pun, air matanya
selalu ikut hadir. Bagi Renvy, kursi itu menyimpan banyak sekali kenangan dia
dengan mantan kekasihnya yang telah berlalu, mulai dari tertawa bersama hingga
saat ia dan lelaki itu saling marah hanya karena hal-hal yang menurut orang lain sangat sepele.
Namun semenjak pertemuannya
dengan lelaki yang mampu mengalihkan dunianya itu, seluruh kenangan yang
biasanya selalu menyerang kini sudah menghilang. Dan yang kini hadir adalah
harapan serta gejolak rindu yang begitu kuat menggebu-gebu dalam dirinya
terhadap lelaki yang kala itu ia temui di kereta.
Benar apa kata banyak orang,
bahwa hati yang luka hanya mampu dengan
hati lagi untuk menjadi penawarnya. Dan begitupun dengan hati Renvy yang
sebelumnya hancur hingga menyebabkan gairah hidupnya sempat hilang karena rasa
sakit yang ditimbulkan oleh lelaki yang amat sangat ia cintai.
maka hati seorang lelaki pula
lah yang akan dapat menyembuhkannya, dan lelaki yang beruntung mendapatkan
kehormatan itu adalah lelaki yang ia temui di kereta yang mengantarnya kembali
ke Bandung. Namun sayang sekali, Renvy tak mengetaui alamat tinggalnya, bahkan
nama lelaki itupun ia tidak mengetahuinya.
Renvy selalu menunggu saat-saat
ia dan lelaki itu dipertemukan kembali. Ia yakin Tuhan akan mempertemukan
mereka lagi, karena Renvy telah memberikan alasan kepada Tuhan untuk dapat
mempertemukan mereka lagi. Namun kapan waktunya, Renvy tak tau, ia hanya
berharap semoga secepatnya, karena gejolak rasa cinta, rindu, dan haus akan
perhatian dan kasih sayang dari lelaki pujaan hatinya sudah terlalu menggebu.
0 komentar:
Posting Komentar