Sabtu, 14 Oktober 2017

8. Mulai Goyah

“Bagi saya, orang jujur di dunia ini sudah langka. Jika orang lain tak bisa melestarikan kejujuran, mengapa bukan kita saja yang melestarikannya? Bahkan suatu hubungan yang dijalani tanpa kejujuran pastinya hubungan itu takkan sehat.”

Beberapa bulan berlalu. Penantian Nugi tentang pertemuannya dengan Irena, wanita yang ia temui di kereta kala itu, ternyata tak kunjung terwujud. Tak dapat dipungkiri, penantian itu berimbas juga terhadap perasaan serta sikap Nugi kepada kekasihnya, Indah.
Selama penantian itu perubahan sikap Nugi terhadap Indah cukup drasti. Namun, tak membuat Indah membalas sikap Nugi dengan cara yang serupa. Justru, Indah membalas dengan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari sebelum keberankatan Nugi.
Indah berharap dengan cara itu akan mampu membuat Nugi sadar, bahwa ia berharap banyak dan mendambakan dapat menghabiskan sisa hidupnya bersama Nugi, lelaki yang dicintai dan disayanginya dengan sepenuh hati, dibanding harus bersanding dengan lelaki yang tak dicintainya dan juga bukan pilihan hatinya. Begitu besar pengharapan Indah terhadap Nugi. Namun, itu tak membuat Nugi menyadari betapa berartinya ia bagi Indah.
Beberapa hari yang lalu, ayah Indah sempat memberi kabar kepada Indah bahwa keluarganya akan kedatangan tamu. Tamu itu merupakan sahabat lama dari ayahnya, dengan maksud ingin bersilaturahmi, sekaligus memperkenalkan seseorang kepada Indah.
“Minggu depan kamu ga ke mana-mana kan, Ndah?” tanya Ayahnya.
“Engga, Yah. Kenapa emangnya?”
“Ya bagus. Pokoknya kalau ada acara harus dibatalin. Minggu depan mau ada tamu yang datang. Tamu itu sahabat Ayah.”
“Oh...” hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Indah. Sekaligus perasaan tak enak mulai menjalari pikiran dan dirinya.
Hari yang dikabarkan ayah Indah pun akhirnya tiba. Sahabat sang Ayah serta keluarganya pun sudah berada di rumah keluarga Indah. Indah pun menghampiri saat ibunya memanggilnya ke kamar. Ia pun ikut kumpul dua keluarga itu dengan berpenampilan rapih serta sapuan make up yang natural.
“Ini Indah?” tanya sahabat ayahnya tersebut dengan heran.
“Iya, om.” Jawab Indah sambil tersenyum canggung. Ia pun mengambil duduk tepat di samping ibunya.
“Beda banget ya sama dulu. Kayanya sekarang udah ga pernah lari-lari ngejar layang-layang lagi ya.” Ucap sahabat ayahnya mengenang masa lalu sambil tersenyum.
Sewaktu kecil indah memang sering sekali bermain layang-layang bersama teman-temannya disebuah tanah lapang dekat rumanya. Hal itu membuat tubuh Indah hitam dan rambutnya pun agak kemerahan karena sering terpanggang oleh terik matahari. Namun seiring bertambahnya usia, Indah pun sadar bahwa ia harus bisa merawat dirinya.
“Oh ya Indah,” kata ayahnya. “Kenalin ini Fadil.” Sembari menepuk bahu seorang lelaki yang berada di sampingnya.
Lelaki itu pun mengulurkan tangannya kepada Indah. Ketika keduda tangan itu berjabat mereka pun saling memperkenalkan dirinya. “Fadil.” Ucap lelaki itu sambil tersenyum ramah.
“Indah.” Balas Indah dengan senyum yang dipaksakan.
Tak lama Indah dan Fadil pun ditinggal oleh orang tua mereka yang satu persatu undur diri dari tempat itu. “Sepertinya ini sudah direncanakan.” Ucap Indah dalam pikirannya.
Keheningan sempat menyelubungi mereka berdua. Hingga suatu dehaman Fadil memecah hening di antara mereka. “Ehem...
Indah hanya mendongakkan wajahnya ketika keheningan terusik.
“Gimana kabarnya?” ucap Fadil dengan intonasi canggung.
“Ya begini, sehat-sehat aja.” Jawab Indah dengan ketus.
“Hmm... sibuk apa sekarang, Ndah?”
“Ga sibuk apa-apa, cuman lagi duduk.”
“Kamu ngerasa risih?”
“Ya!”
“Oh...” Fadil merasa kaget dengan jawaban Indah yang begitu frontal. Fadil terdiam sejenak, ia berusaha berpikir dan berhati-hati dalam berucap. “Maap kalau begitu. Tapi jangan berpikir aneh-aneh, sebenarnya saya sudah punya pasangan.”
Mendengar jawaban Fadil, membuat Indah menatap wajah lelaki itu dengan rasa keheranan dan tak habis pikir. “Apa maksud laki-laki ini kalo memang udah punya pasangan kenapa harus mau melakukan ini.” Ucap pikiran Indah.
Fadil menangkap ekspresi keheranan dan keterkejutan Indah. “Tolong, tolong jangan berpikir macam-macam dulu tentang saya.” Ucap Fadil sambil mengangkat kedua tangannya tepat didadanya, lelaki itu berusaha membuat indah untuk tenang dengan pikirannya. “Saya mau begini bukan karena apa-apa. Saya cuma nurutin kemauan orang tua saya saja, biar mereka seneng. Lagian ga ada salahnya kalau cuman sebatas menambah teman baru. Selain itu saya tak punya maksud lain, sungguh.” Lanjut lelaki itu sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.
Mendengar ucapan lelaki itu tak membuat pikiran indah menerima begitu saja penjelasan dari orang yang baru dikenalnya itu. “Tapi apa kamu ga mikirin gimana perasaan passangan kamu kalau tau kamu dijodohkan seperti ini?” ucap Indah masih dengan nada keheranannya.
Pertanyaan Indah membuat Fadil tertunduk dalam duduknya. Dalam ketertundukannya, Fadil menjawab dengan pelan. “Dia tau.”
“Terus dia rela? Saya ga habis pikir, hubungan macam apa yang merelakan pasangannya dijdohkan dengan orang lain sedangkan dirinya tau tentang itu?”
“Hubungan yang dijalani dengan rasa kepercayaan yang benar-benar muncul dari hati bukan sebatas emosi.” Ucap lelaki itu. “Walau sebenarnya saya tau hati kecil pasangan saya tersayat-sayat karena sedih mendengar kabar itu.”
“Terus kalau tau hatinya tersayat dengan kabar itu, kenapa kamu bilang kalau kamu mau dijodohkan? Kamu itu bego atau tolol sih?” Hardik Indah pada lelaki itu.
“Dari pada saya harus sembunyi-sembunyi dan pasangan saya tau dari orang lain, menurut saya itu lebih menyakitkan dibanding saya harus mengatakannya sendiri. Jika dia marah itu resiko saya, tapi berkata jujur kepada pasangan itu lebih melegakan saya. Dan saya pun tak ada maksud untuk menghianati kepercayaan yang ia berikan.”
Indah kaget mendengar jawaban lelaki itu. “Kalau dia minta putus?”
“Ya saya bakal nahan dong. Saya bakal berusaha meyakinkan kalau hubungan saya dengan wanita yang dikenalkan kepada saya hanya sebatas teman dan ga lebih. Buktinya sekarang saya bilang ke kamu kan kalau saya sudah punya pasangan.”
“Iya, sih.” Indah terdiam mendengar jawaban dari lelaki itu.
“Bagi saya, orang jujur di dunia ini sudah langka. Jika orang lain tak bisa melestarikan kejujuran, mengapa bukan kita saja yang melestarikan? Bahkan suatu hubungan yang dijalani tanpa kejujuran pastinya hubungan itu takkan sehat.”
“Lalu, apa alasan kamu mau dikenalkan dengan saya?”
“Udah saya bilang tadi, saya cuman ga pingin ngecewain orang tua saya. Dan saya mau ketemu kamu pun bukan berarti saya bakal sama kamu juga kan? Saya punya tanggung jawab moral sama pasangan saya saat ini, dan saya pun sudah janji kalau pertemuan kita ini ga akan ngerusak hubungan saya sama dia, dalam artian saya takkan tentu juga bakal jadi dengan kamu.”
“Lalu pasangan kamu percaya?”
“Iya, dia percaya.”
“Gila!” jawab Indah yang masih tak habis pikir dengan kegilaan yang ia terima hari ini.
Hening menyelubungi mereka kembali.
“Kamu udah punya pacar?” Fadil mencoba memecah hening kembali.
“Udah.” Jawab Indah dengan ekspresi sedih.
“Oh baguslah. Tapi ko kenapa ekspresimu jadi sedih begitu ketika saya tanya tentang pacar kamu?”
Indah tak menyadari ekspresi kesedihannya muncul begitu saja. “Eh.. engga apa-apa.” Jawabnya gelagapan.
“Oh maap saya udah terlalu lancang.”
“Iya ga apa-apa, lupain aja.”
“Kamu mau kan jadi temen saya?”
Hah?
“Ko’ kaget? Iya cuman temen ga usah lebih. Lagian kan kita kan sudah punya hati masing-masing.”
“Oh...” Indah terdiam sejenak mencoba menimbang, ia terpikir dengan ucapan lelaki tadi tak ada salahnya menambah teman. “Boleh.” Jawabnya datar.
“Oke, terima kasih karena sudah diperkenankan. Saya minta maap kalau sedari tadi saya sudah buat kamu risih.”
“Iya ga apa-apa, lupain aja.”
Keheningan menyelimuti mereka kembali.
Para orang tua yang sedari tadi sibur berbincang-bincang ternyata sesekali memperhatikan anaknya. “Kayanya pada diem tuh Pak.” Ucap Ibu Indah kepada suaminya yang sedang ngobrol dengan sahabatnya, ayah Fadil.
Loh kok? Ya udah Ma, biarin aja nanti juga ngobrol lagi. Mereka kan bukan ibu-ibu gosip yang ga pernah kehabisan topik, apalagi mereka baru ketemu pasti masih pada canggunglah. Kaya ga pernah muda aja.”
Jawaban ayah indah disambut gelak tawa dari dua keluarga itu.
Setelah lama diperhatikan rupanya mereka berdua hanya saling diam. Akhirnya Ayah Fadil dan Istrinya menghampiri Fadil, diikuti dengan ayah Indah serta istrinya.
“Udah mau pulang, Yah?” Tanya Fadil saat melihat ayah dan ibunya mendekat.
“Iya, Ayah sama Ibu mau pulang. Tapi kalau kamu masih mau di sini ya ijin saja sama Om dan juga Indah, siapa tau Indah ada kegiatan lain.” Ucapnya sambil memandang ke arah ayah Indah dan juga Indah.
“Ah... engga, Fadil ikut pulang aja.”
Mereka bertiga pun pamit undur diri dari rumah keluarga Indah.
Setelah keluarga Fadil pamit, Indah pun kembali ke kamarnya. Tak ada gurat ekspresi senang diwajah Indah yang ada Indah malah terlihat murung. Indah teringat dengan Nugi.
Apa kabar dia di sana? Yakin dia ujah jujur padamu, Ndah? Seperti jujurnya si Fadil itu sama pasangannya?” pikirannya berucap secara liar. Entah apa pula yang membuat pikiran Indah dengan lancang membandingkan Nugi dengan Fadil. Apa benteng pertahanan hati Indah mulai goyah dengan bombardir kegilaan kejujuran dalam hubungan yang Fadil jalani dengan kekasihnya.
Tak lama setelah Indah kembali ke kamarnya, ibunya pun menghampiri. “Gimana, Ndah?”
“Apanya yang gimana, Bu.” Jawab Indah dengan malas.
“Cocok?”
“Engga,” ucapnya datar.
“Ya jangan jadiin pasangan dulu, jadiin temanmu aja ga ada salahnya kan?”
“Iya emang cuman teman Bu. Dan ga akan lebih.”
“Iya. Kenali saja dulu. Siapa tau saling cocok kan.”
“Apa sih, Bu. Udah ah Indah males bahasnya.” Indah memasang raut wajah tak nyaman.
Melihat hal itu, Ibunya pun hanya senyum dan pamit ke pergi dari kamar Indah.
***
Beberapa hari berselang.
Tring... pemberitahuan sebuah pesan baru, masuk ke ponsel milik Indah. Pesan masuk itu berbunyi “Hay indah?”
“Siapa sih ini orang ga jelas.” Ucapnya setelah melihat isi pesan masuk itu. Namun karena nomor pengirim tak ia ketahui. Indah pun menghiraukan pesan itu.
Tak lama berselang, kembali masuk pesan baru ke ponselnya tring....
Indah melihat nomor pengirim pesan tersebut ternyata sama dengan nomor yang tadi ia hiraukan. “Hay, Indah? ini saya, Fadil. Minggu ini ada acara?” Bunyi pesan baru tersebut.
Aduh! ini orang mau apa lagi sih?” pikir Indah dengan kesal, namun ada rasa yang tak karuan mengiringi rasa kesalnya yang hadir begitu saja.
“Oh saya kira siapa, ga ada kayanya.” Balas Indah dengan seperlunya.
“Ah kebetulan, boleh minta tolong?”
“Buat?”
“Selasa depan pacar saya ulang tahun, bisa minta tolong temani saya untuk mencari hadiah buat ulang tahun dia?”
“Oh.”
“Bisa?”
“Ga tau.”
“Tolong dong, serius saya engga akan macem-macem. Saya cuman mau minta tolong bantu saya pilihkan kado saja, saya bingung memilihnya.”
“Ga bisa ngajak orang lain emangnya? Kenapa mesti saya?”
“Saya engga punya temen cewe, temen saya cowo semua dan mereka engga ada yang paham urusan beginian.”
“Maap saya sibuk.”
“Tolong dong, saya ga pingin ngasih kado yang salah.” Balas Fadil dengan emoticon sedih.
“Saya ga bisa. Ajak orang lain aja.”
“Orang lain siapa? Saya ga punya temen cewe. Oke deh biar adil saya bakal teraktir kamu di tempat ngopi kesukaan kamu, gimana?”
Indah merasa heran dengan tawaran lelaki itu. “kenapa dia bisa tau aku punya tempat kopi favorit?” ucap pikirannya, namun di balik itu entahlah indah merasa senang dengan tawaran lelaki itu. Namun ia tetap berusaha menyembunyikan kesenangannya.
“Apa? Kamu mau nyogok saya?” balas Indah
Duh! Bukan begitu maksudnya. Tapi itu sebagai balas jasa kalau kamu mau menemani saya nyari kado buat pacar saya.”
Indah berpikir sejenak, ia pun merasa dirinya kurang piknik dan butuh sedikit udara segar. Tak ada salahnya jika ia menemani Fadil mencari kado untuk ulang tahun kekasihnya. lagian hatinya pun sepenuhnya milih Nugi.
“Tapi janji ya ga akan macem-macem dan aneh-aneh?”
“Iya, saya janji.”
“Oke deh kalau begitu, saya mau antar kamu cari hadiah ulang tahun buat pacar kamu.”
“Bener ya?”
“Emang saya tukang bohong sampai harus ditanya seperti itu?”
“Eh... engga, bukan gitu maksudnya, saya cuman mau mastiin aja kalau saya ga mimpi.”
“Iya bener.”
“Oke sampe ketemu nanti minggu, ya. Nanti saya jemput ke rumah.”
“Oke.”
Rasa senang yang tak bisa didefinisikan begitu saja hadir dalam hati Indah. Namun, ketika ia menyadari kehadiran rasa itu Indah berusaha mengenyahkannya jauh-jauh.
Ko aneh ya. Bahaya, api ini mesti segera dipadamkan, ini bukan tempatnya.” Pikirannya berucap.
Nugi, ini ga akan lebih dari sebatas teman, aku janji, maap.” Batinnya berucap.
***
Hari yang sudah mereka perjanjikan pun tiba.
Seperti yang sudah dikatakan, Fadil pun menjemput Indah ke rumahnya.
“Hay? Tunggu sebentar ya, saya siap-siap dulu.”
“Berapa menit nih?” tanya Fadil dengan intonasi bercanda.
“Ah ga lama, bentar ko. Duduk aja dulu.” Indah pun kembali ke kamarnya. Meskipun Indah berusaha menutupi rasa bahagianya sekuat diri, namun rasa bahagia yang natural itu tak dapat disembunyikannya dengan rapih.
“Eh ada Fadil,” sapa Ibu Indah.
“Iya tante.” Jawabnya tersenyum.
Mereka pun berbasa-basi sambil menunggu Indah selesai bersiap-siap.
10 menit Fadil menunggu, akhirnya Indah pun sudah siap. Ia pun menghampiri Fadil yang sedang ngobrol dengan Ibu dan Ayahnya. “Ayo.”
“Yuk.” Jawab Fadil pada Indah. “Ya udah Om, Tante, Fadil ajak Indah jalan dulu ya,” ucap Fadil mohon pamit kepada kedua orang tua Indah.
“Iya, hati-hati ya Dil, tolong jaga Indah.” Ucap Ibu dan Ayahnya.
“Siap, Om, Tante. Kalo gitu kita pergi dulu, Assalamualaykum...” pamit Fadil diiringi Indah.
Fadil dan Indah pun menghampiri mobil Fadil dan mulai menapaki jalanan kota menuju sebuah tempat perbelanjaan di kota itu.
“Udah tau mau ngasih kado apa?” tanya Indah sewaktu mereka sudah di jalan.
“Belum hahaha...”
Lah?” Indah heran. “Ko bisa belum? Terus kamu mau ngasih apaan jadinya?”
“Belum tau, masih bingung. Kamu punya saran? Hehehe.”
“Hmmm....” Indah mengerutkan keningnya, ia sedang berusaha berpikir. “Pacar kamu tomboy atau feminim?”
“Dia ga terlalu tomboy ga terlalu feminim juga.”
“Hobinya?” Indah mencoba mengorek sedikit informasi.
“Hmmm.... apa ya....” Fadil mencoba berfikir. “Dia suka baca novel, sampai kadang suka lupa waktu dan lupa segalanya.”
Mengingat tentang waktu, Indah teringat dengan pemberiannya kepada Nugi. sebelum kekasihnya itu pergi ke Bandung.
“Gimana kalau kasih jam tangan aja?”
Hah?” Fadil heran. “Kenapa? Emang cewe bakal seneng dikasih jam tangan?”
“Apapun yang dikasih sama orang yang spesial dihatinya, pasti cewe bakal seneng nerimanya.” Terang Indah. “Apalagi kalau ngasih jam tangan itu kamu sambil kasih filosofinya.” Lanjutnya.
“Emang apa filosofisnya?” Fadil kelihatan bingung.
“Kasih tau ga yaaaa......?????” ucap Indah sambil menggoda Fadil.
Hadeh... tolong deh jangan bikin saya berbuat macem-macem nih.”
Ih... kamu mau apa, jangan macem-macem! saya teriak nih.”
Eh... ya jangan teriak juga. Ga ko ga apa-apa.”
“Hahaha.... lucu ya ekspresi kamu kalo lagi kebingunan gitu.”
“Hah? Apa? Lucu?” Fadil kaget mendengar ucapan Indah. “Cie... yang diem-diem merhatiin, awas baper loh. Hahaha...” Goda Fadil.
“Eh...” Indah terkesiap menyadari apa yang tadi dia ucapkan. “E..engga ko engga bukan gitu maksudnya.” Indah terlihat menjadi salah tingkah.
“Hahaha... ya udah apa itu filosofis dari ngasih jam?” tanya Fadil mencoba menyelamatkan Indah dari salah tingkahnya.
“Itu biar... mmmm..... biar....” Indah berusaha mengatur kata-katanya yang seketika buyar karena kejadian tadi.
“Biar apa?” tanya Fadil tak sabar.
“Biar cewe kamu ga pernah ngerasa sendiri kalau ke mana-mana dan pake jam itu, karena kalo dia pake jam itu dia bakal ngerasa tangannya selalu kamu genggam.”
What? Dalem banget, ko saya ga kepikiran ya?” ucap Fadil sambil bertanya pada dirinya sendiri.
Mendengar hal tersebut Indah hanya bisa tersenyum, ia senang karena telah mampu membantu orang lain dari kesusahannya. “Hehehe...”
“Oke kalo gitu kita cari jam aja, udah itu kita ngopi di tempat kesukaan kamu.” Kata Fadil.
Mereka pun segera berangkat ke tempat penjual jam yang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Dan menentukan jam yang akan diberikan Fadil kepada kekasihnya dengan pilihan dari Indah.
***
Selesai membeli kado untuk kekasihnya, Fadil pun menunaikan janjinya kepada Indah, yaitu menteraktir kopi di kafe favorit Indah.
Indah yang sebelumnya penasaran mengapa Fadil yang bisa mengetahui bahwa ia adalah penggemar kopi, dan tau tempat ia biasa menikmati kopi kesukaannya pun akhirnya menanyakan pertanyaan yang terus bergumul dalam pikirannya. “Kamu tau dari mana kalau saya suka kopi?” tanya Indah membuka percakapan.
“Dari Ibu mu.”
“Oh... terus tau saya suka ngopi di sini dari mana?” tanyanya masih penasaran.
“Hmmmm..... dari intelejen pribadi saya.”
“Ih serius.” Tanya Indah memasang ekspresi cemberut, berharap dengan jurus itu Fadil mau terbuka padanya.
“Serius ko. Saya juga tau kalau kamu penyuka drama korea, penyuka Kahlil Gibran, sering nulis puisi-puisi sendu romantic gitu kan?” Ucap Fadil dengan santai.
What?” Indah terkejut, mengapa orang ini bisa tau banyak tentang dirinya, sedangkan komunikasi saja tak pernah kecuali ketika Fadil meminta diantar untuk membeli hadiah. Dan Ibu nya pun tak mungkin tau sespesifik itu karena Indah bukan tipikal orang yang selalu bercerita kepada keluarganya tentang dirinya.
“Ko kaya yang kaget gitu?” tanyanya dengan merasa menang.
“Ga apa-apa, cuman heran aja ko kamu bisa tau banyak gitu.”
“Intelejen saya berarti terpercaya dong kalo gitu.”
“Ga! Tapi ternyata selama ini kamu kepo tentang saya hahaha.” Indah berbalik merasa menang dari Fadil.
Seketika Fadil terlihat kaget ketika mendapati seorang wanita dengan seorang lelaki sedang duduk berdua sambil menikmati minumannya. Yang sesekali diselingi senyuman dan rangkulan. “Siapa laki-laki itu?” tanya Fadil dalam pikirannya.
Indah menangkap ekspresi keterkejutan Fadil. “Hey kenapa? Ko malah bengong?”
“Eh... engga apa-apa.” Fadil tersadar, ia mencoba mengkontrol dirinya sejenak.
“Kenapa sih Dil?” tanya Indah masih penasaran.
“Itu ada pacar saya, sama temennya di sana.” Ucap Fadil sambil berusaha mengatur dirinya agar terus tenang. “Ke sana yu?” Fadil mengajak Indah.
Indah memperhatikan sejenak sikap kedua orang yang akan dihampiri Fadil. “Kayanya mereka bukan sebatas temen.” Ucap pikirannya. “Tunggu aku habisin kopi ku dulu.” Indah pun menyeruput kopinya sampai habis. “Ayo.”
Mereka berdua pun berjalan menuju tempat yang dituju Fadil.
“Hay Vin?” sapa Fadil kepada kekasihnya Vina yang sedang asik ngopi dengan seorang lelaki.
Vina terkejut mendengar suara khas lelaki yang sangat tak asing ditelinganya. “Eh He..ey.” sahut Vina kepada Fadil.
“Siapa yank?” tanya lelaki yang sedang sama Vina.
Fadil merasa terguncang mendengar sapaan lelaki itu kepada Vina. Namun ia terus berusaha mengkontrol dirinya. Tanpa perlu menunggu penjelasan dari Vina, Fadil langsung memperkenalkan dirinya kepada lelaki itu. “Hey, saya Fadil. Temennya Vina. Dan Ini teman saya, Indah.” Ucap Fadil dengan senyum yang berusaha terus ia atur agar tak terlihat kemurkaannya kepada lelaki itu ataupun pada Vina.
“Oh temen, yuk mari gabung.” Pinta lelaki itu kepada Fadil. Vina hanya diam tak berkata apa-apa, sesekali ia membuang muka dan tertunduk tak berani menatap Fadil secara langsung.
“Makasih, mungkin lain kali aja, sekarang saya lagi buru-buru soalnya masih ada urusan.  Tadi ke sini tu gara-gara kaya yang kenal, makanya saya sapa aja, ternyata bener temen saya.”
“Oh begitu, padahal kalo ga buru-buru masih ada kursi, sekalian ngerayain aniversari kita satu tahun. Ya walau ga banyak cuman ngopi-ngopi aja sih.” Jawab lelaki itu sambil tersenyum ke arah Fadil.
“Iya maaf banget, mungkin lain kali.” Fadil berusaha terus tersenyum dan mengontrol emosinya. “Ya udah kalo gitu, kita pamit dulu ya. Semoga langgeng hubungannya, Mas dan Vina. Mari.” Pamit Fadil sambil berlalu bersama indah setelah melihat senyum bahagia dari sang lelaki dan senyum yang dipaksakan dari Vina.
***
Sesampainya di mobil.
“Kamu tegar banget ya Dil.” Tanya indah dengan tak habis pikir dan sedikit takjub.
Fadil yang sedang menatap keluar jendela dengan tatapan kosong mendongak ke arah Indah. “Hah?
“I...iya itu tadi kenapa kamu ngaku temen segala, bukannya tadi kamu bilang ke saya kalau cewe pacar kamu?” ucap indah berhati-hati karena tak ingin jadi sasaran pelampiasan amarah Fadil.
Fadil mendiamkan sejenak pertanyaan Indah. Indah pun tak berani meminta jawaban atas pertanyaannya kepada Fadil.
Setelah cukup lama Fadil hening, ia pun angkat suara. “Saya sebenarnya kesal, saya pingin marah, tadinya mau saya hajar itu cowo. Tapi saya mikir cowo itu pasti ga tau kalo Vina udah punya pacar. Bukan cowonya yang salah, tapi cewenya yang mau buka hati buat siapa saja.”
“Ko gitu? Bisa aja itu cowo tau kalo pacarmu udah punya kamu.” tanya Indah bingung.
“Ya oke lah itu cowo tau Vina udah punya pacar, tapi tetep kalau Vina ga buka pintu buat tu cowo masuk ga mungkin juga cowo itu bisa masuk.” Ucapnya dengan nada sedikit meninggi.
Indah memaklumi hal itu, karena dia sadar pasti kesal sekali jika ada diposisi Fadil.
Ah... maap Ndah, bukan maksud saya marah ke kamu.” Fadil terlihat sedikit tak enak kepada Indah.
“Iya ga apa-apa Dil. Saya paham.” Ucap indah sambil mengusap punggung Fadil.
Fadil hening kembali seperti sedang mengatur pikirannya agar tak terarah emosi.
Indah merasa pernyataan Fadil masih menggantung. “Mmmm.... kenapa ga kamu labrak aja si Vina nya? Atau ngaku aja kalo kamu itu pacarnya?”
Fadil menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dalam satu kali hembusan. Ia berharap dengan cara itu pikiran dan jiwanya bisa tenang. “Mana mungkin juga saya menghardik Vina? Dia seorang cewe, bisa-bisa saya dikata banci berani menghardik perempuan. Dan lebih dari pada itu, saya sudah sangat kecewa dengan apa yang saya terima dari Vina. Lebih baik saya mundur dari pada harus merusak hubungan mereka. Makanya saya mengaku sebagai teman Vina, toh semenjak mendengar kata sapa ‘yank’ dari cowo itu ke Vina saya rasa kalo saya dan dan Vina udah ga ada apa-apa.”
“Salut dan bangga banget saya sama kamu, Dil.” Ucapan itu terucap begitu saja oleh Indah, sambil mengusap bahu Fadil.
Mendengar ucapan Indah, Fadil terkejut sambil menatap heran wajah Indah.
Indah yang menyadari itu langsung meralat ucapannya. “Eh... maap, maap banget. ga ada maksud apa-apa ko.”
“Kamu lucu kalo udah gelagapan gitu.” Ucap Fadil sambil tersenyum.
Mendengar ucapan itu Indah tersipu malu.
“Ya udah kita pulang aja ya, aku pusing butuh istirahat.” Pinta fadil. “Maaf acara ngopinya jadi kurang nikmat.”
“Oh iya, ga apa-apa ko. Kamu masih sanggup kan bawa mobilnya?”
“Hahaha sanggup ko, tenang aja kamu bakal saya antar dengan selamat ko.”
Mendengar ucapan Fadil indah hanya tersenyum. “Hehe...”
***
Setibanya di rumah Indah, setelah bertemu dengan Ayah dan Ibu Indah Fadil langsung pamit diri.
“Om, Tante, Fadil pamit dulu ya. Makasih udah ngebolehin Indah nemenin Fadil, hari ini.” Pamit Fadil kepada orang tua Indah.
“Ga mampir dulu Dil?”
“Engga Om, mungkin lain kali. Soalnya sekarang masih ada yang mesti diurus hehehe. Mari Om, tante, Indah.” Pamit Fadil.
“Iya Dil hati-hati.” Ucap kedua orang tua Indah.
Dengan diiringi Indah, Fadil menuju mobilnya. “Makasih ya, Ndah buat hari ini. Sekali lagi maap kalo tadi saya sempat agak tinggi nada bicaranya dan maap juga ngopinya jadi kurang nikmat.”
“Iya Dil, sama-sama. Ga apa-apa ko. Kamu jangan down ya gara-gara ini, kamu kan masih punya temen, kalo ada-apa-apa kamu bisa kabari aku aja.”
Hah? Aku?” canda Fadil. “Ko berasa aneh ya hehehe.”
“Aneh kenapa?” semu merah dipipi Indah kali ini tak bisa disembunyikan.
“Ah ga apa-apa, lupain aja. Oh iya, Ndah. Ini buat kamu aja.” Ucap Fadil sambil memberikan jam yang tak akan pernah ia diberikan kepada Vina itu.
Loh ko?”
“Dari pada aku buang, sayangkan. Mending kamu pake aja. Lagian aku sama Vina sekarang udah ga ada apa-apa.”
“Tapi kenapa mesti aku?”
“Aku kan sempet bilang, kalo aku ga punya temen cewe. Ya kecuali kamu sih. Makanya ya udah jam nya mending aku kasih kamu aja. Dari pada aku buang. Tolong jangan liat ini awalnya akan diberikan untuk siapa, tapi anggap aja ini tanda pertemanan aku sama kamu kalau nanti aku ga ada.”
Indah masih terdiam, entahlah mendengar perkataan Fadil tadi hatinya mendadak sedih. “Maksud kamu kalau kamu ga ada?”
“Ga apa-apa, Ndah. Lupain aja. Udah nih ambil, tolong jaga baik-baik ya.” Ucapnya sambil tersenyum tulus.
“I..i-iya Dil, makasih.”

Fadil pun menginjak pedal gas mobilnya dan mulai menapaki jalanan aspal kota itu, sembari diiringi dengan pandangan indah dengan tangan yang mendekap jam pemberian Fadil tepat didadanya.

Jumat, 22 September 2017

7. Dipertemukan

Berniat untuk melakukan daftar ulang, di waktu pagi menjelang siang itu Nugi sudah tiba di kampus barunya. Sembari menggendong ransel yang hanya dikaitkan disebelah pundaknya, dengan penuh rasa semangat Nugi melangkahkan kaki menuju tempat daftar ulang.
“Pak, permisi?” sapa Nugi kepada seorang satpam.
“Iya, ada apa mas?” sahut si satpam.
“Kalau mau pendaftaran ulang mahasiswa baru di sebelah mana ya pak?”
“Di sana mas,” tunjuk si satpam ke gedung yang berada tepat di belakang rektorat kampus itu. “Nanti mas naik aja ke lantai tiga, di situ nanti ada petunjuk arahnya ko, mas.” Lanjut si satpam menjelaskan.
“Baik pak, terima kasih.” Jawab Nugi, ia pun langsung melangkah menuju tempat yang ditunjukkan oleh satpam tadi.
Setibanya di lantai tiga, Nugi mengikuti petunjuk arah yang akan menggiringnya ke tempat daftar ulang mahasiswa baru.
Terlihat sudah cukup banyak mahasiswa baru yang mengantri untuk melakukan daftar ulang. Nugi pun melangkah menghampiri orang-orang yang sedang berkerumun itu.
Sebelum tiba dikerumunan orang itu, Nugi berpapasan dengan beberapa orang wanita. Nugi pun mendekati mereka untuk menanyakan agar ia merasa tak salah tempat.
“Maaf, mbak?” sapa Nugi.
Seorang wanita yang ada di paling belakang rombongan itu terhenti dan berpaling ke arah Nugi, sedangkan yang lain menghiraukannya dan terus berjalan.. “Hmm... ia kenapa mas?”
“Itu tempat daftar ulang mahasiswa baru kan?”
“Iya mas,” jawab wanita itu. “Mas mahasiswa baru juga?” balik wanita itu bertanya.
“Iya mbak.” Jawab Nugi dengan ramah.
“Jangan lupa mas persyaratannya dikumplitin dulu, supaya ga pulang pergi,” ingatkan wanita itu.
“Sudah sih kalo berkas-berkas yang harus di foto copy,” jawab Nugi sambil mencoba mengingat-ingat. “Ada persyaratan tambahan lainnya lagi mbak?” tanya Nugi.
“Materai 6000 buat surat pernyataan dua biji, mas.” Tutur wanita itu.
Nugi tak tau ternyata harus membawa materai dua, ia hanya membawa satu. “Oh begitu, saya cuma bawa satu sih, kira-kira di sini tempat beli materai di mana ya mbak?”
“Ya udah, yuk bareng aja mas, kebetulan saya juga mau ke foto copyan, biasanya sih materai ada di foto copyan.” Ajak wanita itu kepada Nugi.
Nugi pun melangkah bersama dengan wanita itu menuju fotocopyan yang berada di sekitaran kampus. Namun karena di tempat wanita itu mem-foto copy materainya habis, akhirnya merekapun berpetualang dari satu tukang foto copy ke tukang foto copy yang lainnya.
“Mbak nyari matertai juga?”  tanya Nugi dengan basa-basi.
“Iya mas, soalnya aku lupa kemarin ga sempet beli.”
“Oh iya, sedari tadi kita ngobrol dan jalan bareng belum sempet kenalan.” Ucap Nugi. “Saya Nugi, kalo mbak?” tanya Nugi pada wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Iya ya, saya juga lupa,” sahut wanita itu sambil tersenyum. “Saya Rena.” Jawab wanita itu sambil menyambut uluran tangan Nugi.
“Jurusan apa mbak?” tanya Nugi.
“Hukum, kalo masnya?”
Lah masa sih?” ucap Nugi spontan.
“Iya, kenapa mas?” tanya Rena dengan menunjukkan ekspresi sedikit murung. “Ga kemukaan ya aku masuk jurusan hukum?” Sebenarnya bagi Rena dikata wajahnya tidak cocok untuk masuk jurusan hukum adalah hal yang biasa, karena teman-temannya sering mengatakan demikian. Namun tetap saja ada rasa sakit ketika orang mengatakan demikian kepadanya.
“E..engga mbak, bukan gitu.” Jawab Nugi sambil menggoyangkan kedua telapak tangan di dadanya serta diselimuti rasa bersalah. “Cuman kok bisa sama jurusannya.” Lanjut Nugi sambil tersenyum canggung.
Mendengar jawaban Nugi, Rena pun terkejut. “Oh ya?” disambut tawanya Rena yang pecah. “Kok bisa kebetulan gini ya?”
“Iya saya juga ga tau mbak.” Jawab Nugi dengan ikut menertawai keadaan. “Mungkin udah takdir Tuhan.” Mendengar jawaban Nugi, Rena hanya bisa ikut tertawa tanpa menjawab apa-apa.
Setelah materai yang mereka cari di dapat, mereka pun melangkah bersama untuk kembali ke gedung tempat daftar ulang mahasiswa baru. Mereka pun terus bersama-sama hingga selesai melakukan proses daftar ulang itu.
Setelah mereka selesai melakukan pendaftaran ulang, mereka pun memutuskan untuk pulang.
“Sekarang mau ke mana, Gi?” tanya Rena.
“Pulang Ren, kalo kamu?”
“Sama, aku juga mau pulang, soalnya udah ga ada tujuan lagi sih.”
“Pulang pake apaan?”
“Bis kota, kalo kamu?”
“Sama aku juga pake bis kota.”
“Ya udah bareng aja ke depannya yuk?”
Ayuk.
Merekapun melangkah bersama lagi menuju gerbang utama kampus tersebut. Kebetulan arah pulang mereka pun sama, memaksa Rena akan terus bersama-sama dengan Nugi hingga turun dari bis kota.
Saat menaiki bis kota, ternyata kursi sudah terisi penuh, hanya menyisakan satu tempat duduk. Sebagai seorang lelaki, Nugi mempersilahkan Rena untuk duduk.
“Duduk, Ren.” Ujar Nugi mempersilahkan.
Namun, Rena menolak dan memilih untuk berdiri sambil berpegangan ke pegangan yang telah disediakan. “Engga, Gi. Kamu aja kalo kamu mau duduk.”
Namun, Nugi memilih untuk berdiri sambil berpegangan ke besi pegangan yang tersedia.
Selama di perjalanan, Rena dan Nugi banyak ngobrol satu sama lain. Mengetahui bahwa Nugi baru pertamakali ke Bandung, selama diperjalanan Rena menjadi seperti seorang tour guide dadakan bagi Nugi.
Tanpa disadari kadang-kadang dari candaan yang mereka lontarkan membuat mereka tertawa bersama. Tawaan itu sesekali dibarengi dengan tepukan-tepukan pelan dan cubita-cubitan kecil di antara mereka.
“Sebentar lagi aku turun, Gi. Kalo kamu, masih jauh?”
“Lumayanlah.”
“Ya udah hati-hati ya,”
“Iya Ren. Hmmm...” ada kata yang tertahan di dinding mulut Nugi.
“Kenapa?” tanya Rena yang menyadari itu.
Dengan memberanikan diri Nugi meminta kontak Rena, walaupun ia tak berniat lebih dari sebatas teman. Namun, Nugi tetap merasa segan untuk meminta. “Boleh minta kontaknya Ren? Biar kalo ada apa-apa bisa tanya-tanya.” Ujar Nugi.
“Oh itu, boleh... boleh...” jawab Rena sambil mengeluarkan pulpen dan notebook dari tasnya, lalu menggoreskan pulpen itu ke notebooknya dan mensobekan secuil kertas yang bertuliskan nomor telfonnya itu. “Nanti hubungi aja kalo ada apa-apa.” Ucap Rena saat memberikan kertas itu kepada Nugi.
“Oke, makasih Ren.” Ujar Nugi.
“Ya udah aku duluan ya. Hati-hati, awas kelewat tujuannya.” Pamit Rena sambil melempar senyum, lalu ia melangkah ke depan mendekati pintu untuk turun.
Mendengar ucapan Rena, Nugi tak menjawab apa-apa dan hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

Freddy Mercury bernyanyi di HP Nugi, pertanda adanya telpon masuk. Saat ia lihat ternyata itu telpon dari kekasihnya, Indah. “Hallo... Gimana sayang hari ini ke kampusnya?”
“Hallo juga sayang, Alhamdulillah lancar kok sayang.” Jawab Nugi.
“Ya udah, jaga kesehatannya ya sayang, jangan sampe sakit.”
“Iya sayang. Makasih udah ngingetin.” Jawab Nugi. “Nanti aku telpon lagi ya sayang, aku mau ke luar dulu sama Arga.” Pinta Nugi.
“Iya sayang, hati-hati.”
Sambungan telpon pun terputus. Nugi sedang tak ingin diganggu oleh siapapun, dia hanya ingin keheningan, sambil menikmati buku peninggalan “Irena”, wanita yang ia temui di kereta beberapa waktu lalu.

Untukmu aku ingin hening, seakan-akan kau tiada.
Dan kau mendengarku dari kejauhan dan suaraku tak menyentuhmu.
Tampak seakan-akan sepasang matamu telah terbang.
Dan tampak sakan-akan sebuah ciuman telah menyegel mulutmu.[1]

Membaca penggalan sajak itu membuat Nugi semakin ingat kepada Irena. Hanya untuk membaca dan meresapi buku peninggalan wanita itu, Nugi mengesampingkan telpon kekasihnya, Indah. Yang mungkin saja di sana Indah sedang dilanda badai rindu yang begitu sangat kepada Nugi.
Sedangkan di Bandung, Nugi sedang dihantam badai rindu kepada wanita lain, wanita yang sudah mencuri hati dan rasanya saat pertamakali bertemu di kereta pengantarnya ke tempat yang saat ini tanahnya ia pijak.
Suasana saat itu begitu hening. Arga sudah terlelap dalam tidurnya. Nugi yang dilanda rindu yang sangat besar akhirnya memutuskan untuk nongkrong di teras kontrakan Arga.
Sembari menatapi langit yang bertabur bintang, dan menikmati belaian angin malam, ia berbisik kepada angin tentang kerinduannya kepada sosok “Irena” seorang wanita yang ia temui di kereta sewaktu akan ke Bandung.
Sambil sesekali menyeruput kopinya yang tersaji di meja, malam itu Nugi terus memandangi langit. Tiba-tiba saja, ia melihat  sebuah bintang jatuh, yang kata orang-orang jika memohon saat melihat bintang jatuh, maka keinginan dan doa yang kita ucapkan sebelum bintang itu menghilang akan terwujud.
Dengan sigap Nugi langsung berbisik pelan dan khidmat karena ungkapannya penuh dengan harapan yang membuncah dalam diri dan juga hatinya. “Semoga kita bisa bertemu Irena.” gumam Nugi dalam doanya sembari membayangkan wajah wanita yang ia temui di kereta kala itu.

***

Tring... notifikasi pesan masuk berbunyi di HP Renvy. Ia pun meraih telpon genggam yang tergeletak tak jauh dari dirinya.
“Ren, buku Sayap-Sayap Patah gue ada di lu kan?” bunyi pesan yang masuk ke telpon genggam Renvy, pesan itu dari Indi, sahabat Renvy.
Renvy bingung menjawab pertanyaan itu, ia tak mengira akan secepat ini sahabatnya menagih buku miliknya. “Indi sorry nih, buku lu ketinggalan di rumah tante gue.” Balas Renvy kepada sahabatnya Indi dengan menyertakan emoticon menyesal.
Tak lama pesan balasan dari sahabatnya pun masuk kembali. “Yah, serius Ren? Jangan bercanda ah. Gue lagi butuh banget nih.” Bunyi pesan balasan dari Indi disertai dengan emot sedih.
Gue serius In, waktu itu gue buru-buru gara-gara takut ketinggalan kereta. Maaf banget ya my honey.” Balas Renvy dengan emoticon sedih pula.
“Hmm... ya sudah deh kalo gitu, mau gimana lagi.”
Renvy menyadari bahwa sahabatnya merasa kecewa, namun ia tahu bahwa Indi tak bisa menunjukkan kekecewaannya kepada siapapun, karena Indi akan selalu merasa sungkan jika harus bersikap berbeda kepada orang lain, terlebih kepada sahabatnya sendiri.
Entahlah malam itu sudah berapa puluh ribu kali Renvy memikirkan lelaki yang ia temui di kereta yang mengantarkannya pulang ke Bandung. Lelaki itu menghadirkan kembali keceriaan yang sebelumnya sempat hilang dari hidup Renvy.

Semenjak pertemuannya dengan lelaki itu, kenangan-kenangannya bersama lelaki yang sempat memporak-porandakan hatinya hingga menimbulkan luka yang mendalam dan teramat perih kepada Renvy, seketika sirna dan tak pernah kembali.
Sebelum pertemuannya dengan lelaki di kereta itu, setiap kali Renvy menelusuri jalanan kota Bandung, kenangan-kenangannya dengan lelaki yang telah berlalu itu selalu sigap menyerbu pikirannya, yang tanpa sadar membuat pipi Renvy selalu basah oleh rintikan air mata.
Bukan hanya itu, bahkan jika ia memandangi kursi-kursi yang berada di ruang tamu rumahnya pun, air matanya selalu ikut hadir. Bagi Renvy, kursi itu menyimpan banyak sekali kenangan dia dengan mantan kekasihnya yang telah berlalu, mulai dari tertawa bersama hingga saat ia dan lelaki itu saling marah hanya karena hal-hal yang menurut orang lain sangat sepele.
Namun semenjak pertemuannya dengan lelaki yang mampu mengalihkan dunianya itu, seluruh kenangan yang biasanya selalu menyerang kini sudah menghilang. Dan yang kini hadir adalah harapan serta gejolak rindu yang begitu kuat menggebu-gebu dalam dirinya terhadap lelaki yang kala itu ia temui di kereta.
Benar apa kata banyak orang, bahwa hati yang luka hanya mampu dengan hati lagi untuk menjadi penawarnya. Dan begitupun dengan hati Renvy yang sebelumnya hancur hingga menyebabkan gairah hidupnya sempat hilang karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh lelaki yang amat sangat ia cintai.
maka hati seorang lelaki pula lah yang akan dapat menyembuhkannya, dan lelaki yang beruntung mendapatkan kehormatan itu adalah lelaki yang ia temui di kereta yang mengantarnya kembali ke Bandung. Namun sayang sekali, Renvy tak mengetaui alamat tinggalnya, bahkan nama lelaki itupun ia tidak mengetahuinya.
Renvy selalu menunggu saat-saat ia dan lelaki itu dipertemukan kembali. Ia yakin Tuhan akan mempertemukan mereka lagi, karena Renvy telah memberikan alasan kepada Tuhan untuk dapat mempertemukan mereka lagi. Namun kapan waktunya, Renvy tak tau, ia hanya berharap semoga secepatnya, karena gejolak rasa cinta, rindu, dan haus akan perhatian dan kasih sayang dari lelaki pujaan hatinya sudah terlalu menggebu.

Jumat, 15 September 2017

6. Terbawa Pergi dan Mulai Berganti

Seturunnya dari kereta, Renvy berjalan menuju pintu keluar. Dalam benaknya masih terbayang saat dia tertidur dibahu seorang lelaki, yang namanya saja dia tak tau. Namun, saat berbicara dengan lelaki itu, suasana hati Renvy yang gersang mendadak menjadi begitu sejuk.
Menyadari benaknya sudah membayangkan yang aneh-aneh, Renvy pun berusaha menepis pikiran itu dalam benaknya yang disertai dengan umpatan dari mulutnya. Berharap pikiran macam-macamnya itu bisa keluar beriringan bersama umpatannya.
Tepat disekitar gerbang keluar, supir keluarga Renvy, sudah menunggu kedatangan Renvy sejak satu jam yang lalu.
Teh[1] Ren?” teriak sang supir saat melihat Renvy muncul dari pintu keluar.
Suara tak asing ditelinga Renvy itu membuat dia mengedarkan mata ke sekitarnya untuk mencari sang pemanggil.
Saat sang pemanggil sudah diketemukan, dengan girang Renvy menyahut sambil melambai-lambaikan tangannya ke udara. “Mamaaaaang….”
“Sini teh, biar mamang aja yang bawa tasnya.” Pinta sang supir saat sudah berada dihadapan Renvy.
“Iya, mang.” Ucap Renvy sambil memberikan tas ranselnya. “mobilnya di mana mang?”
“Di sana teh.” Sang supir menunjuk ke arah parkiran mobil. “hayu teh!” ajak sang supir sambil melangkah menuju parkiran yang diikuti oleh Renvy.
Setibanya dalam mobil, Renvy merebahkan tubuhnya dibangku belakang mobilnya. “Ah…. Leganya, mang.” Ucap Renvy sambil meregangkan tubuhnya.
“Gimana teh liburannya?” Seru dong? Ditinggal di sana kan kesedihannya?” Tanya sang supir dengan senyum menggoda.
Terkadang sang supir menjadi teman berkeluh-kesahnya Renvy, entah saat dia sedih, kecewa, atau patah hati, bahkan senang sekalipun. Walaupun sang supir tak bisa dibilang muda. Namun, supir itu memiliki pemikiran dan gaya seperti anak muda.
Yang membuat Renvy lebih terbuka kepada supir keluarganya dibanding kepada keluarganya sendiri adalah dia bebas mengutarakan sesuatu tanpa mendapatkan penghakiman, tentang dia salah atau benar. Karena sang supir hanya sebatas memberikan pandangan, dan membiarkan Renvy memutuskan sendiri tentang benar atau salahnya.
“Ya… begitulah.” Jawab Renvy sambil membuang sekali nafas dari mulutnya. Namun langsung tersirat senyum bahagia dari bibirnya.
“Kayanya ada yang berkesan-kesan gimanaaaa gitu yah, teh?” lanjut goda sang supir yang begitu hapal dengan karakter Renvy.
“Hmmm….” Renvy berpikir. “ah apa sih, mamang kepo deh ah.” Jawab Renvy sambil menepuk jok mobil sang supir, diikuti tawaan dari sang supir.
Sang supir sempat khawatir sejak Renvy putus dengan mantannya yang kemarin, yang begitu menyakitkan bagi Renvy. Hingga Renvy begitu sangat murung, tak sebahagia dan seriang biasanya. Mungkin, jika tak ada keluarga dan sahabatnya yang bersedia men-support Renvy secara moril, mungkin Renvy sudah mati karena depresi.
Karena saat-saat seperti itu, ucapan-ucapan dalam pikiran menjadi beban yang sangat berat, hingga membuat diri selalu termenung, tak enak untuk melakukan apapun. Bahkan hanya untuk sebatas tersenyum.
Keterpurukan Renvy yang membuat sang supir khawatir dengan kondisi nonanya. Hati yang patah, harus dibalut dengan hati lagi. Seperti karet ban yang bocor, ditambal dengan karet ban lagi. Pikir sang supir. Namun, dia tak tau harus menjodohkan Renvy dengan siapa.
Karena dia tak memiliki calon, maka dia cukup menjadi teman berbagi keluh-kesah agar meringankan sedikit beban nonanya.
Awalnya Renvy merasa privasinya terganggu. Ia sempat marah dengan cara diam, tak menyapa, bertanya atau sebatas senyum meski sang supir sudah begitu ramah kepadanya. Namun sang supir selalu memberikan penjelasan kepada Renvy tentang maksudnya.
Hingga suatu saat, petuah sang supir mampu membuat pikiran dan hati Renvy yang keras menjadi melunak, dan mau terbuka dan berbagi keluh-kesahnya kepada sang supir. Setiap ada beban yang mengganjal hati atau dirinya, Renvy selalu berkeluh kesah kepada si mamang, seperti seorang sakit jiwa yang mendatangi psikiater.
“Semoga badai sudah berlalu ya, Teh.”
“Ah…. Mamang ini.” Sahut nya sambil tertawa.
“Eh… teh, kalo ada yang ngedoain itu di aamiin-in, bukan diketawain.”
“Iya… deh iyaaaaaaa mang, aamiin!”
“Nah gitu dong.” Ucap sang supir sambil tersenyum. “Mau ke mana sekarang, teh?”
“Pulang aja mang, teteh butuh istirahat berkualitas.”
“Oke, teh. Berangkat!!!”
Sang supir pun menginjak pedal gas, dan mobil itu melaju, menjauh, meninggalkan Stasiun Bandung. Namun, kenangan yang membawa Renvy kembali ke sana tepat pada hari itu dari liburannya tetap mengikutinya. Dia berharap, semoga usahanya tak sia-sia agar dapat bertemu kembali dengan lelaki itu.

***

“Hallo Bung Fandy?” Arga menjawab telfon masuk sambil mengendarai mobilnya.
“Adik gue udah lu jemput, kan?” suara Fandy menyahut dari seberang telpon.
“Sudah tuan besar, sudah sahaya jemput dengan selamat dan sentausa, tuan ku.”
“Haha… kampret lu.” Ucap Fandy terpingkal. “Kerasukan arwah budak kerajaannya kambuh nih, kali-kali tu kerasukan rajanya kek biar berkelas.”
“sialan, lu!” jawab Arga terbahak.
Nugi memperhatikan sekilas tingkah Arga dan kakanya, Fandy, yang sedang bertingkah konyol, dan membuat Nugi tersenyum-senyum sendiri.
Nugi baru menyadari sedaritadi dia menggenggam buku yang ditemukannya di kereta. Nugi membalikkan buku itu dan membaca cover belakang buku itu yang tertulis sekilas tentang profil Kahlil Gibran, dan adapun sebagian syair-syair karyanya yang berbunyi:

Kami berdiri dan mengucapkan selamat berpisah.
Namun, cinta dan keputus asaan berdiri diantra kami seperti dua hantu
Yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari ditenggorokan kami
Sementara yang satu lagi menangis dan yang lein tertawa.

Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium,
Ia mendekat padaku dan mencium dahiku.
Ia menutu matanya dan berbisik lembut,
"Oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkanlah sayap patahku."

Entah mengapa syair itu membuat hatinya bergetar, lalu membawa benaknya kepada saat-saat dia terbangun dari tidurnya di gerbong kereta deret kursi 10 A-B karena sebuah panggilan masuk yang menyadarkannya dari alam mimpi. Lalu mendapati seorang bidadari tertidur nyaman bersandar kepala tepat dibahunya.
Nugi merasa seperti ada yang hilang dari jiwanya. Ia merasa ada yang hilang semenjak wanita itupun menghilang dari pandangannya. “Apa perasaan ku yang dia ambil tanpa perlawanan dariku sedikitpun seharga dengan buku yang ia tinggalkan dengan tanpa sengaja?” pikirannya bertanya.
Hanya keajaiban yang akan mampu mempertemukannya kembali. Tanpa tau nama, tanpa tau asal, tanpa tau alamat, dan tanpa tau sedikitpun tentangnya. Yang dia tau hanyalah paras wanita itu yang cantik!
Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Namun, kondisi jalan masih tersendat. Suara bising klakson mulai riuh, dan menyadarkan Nugi dari lamunannya.
Menyadari dia sudah membayangkan sesuatu yang lancang. Nugi langsung menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berharap pikiran itu jatuh dari otaknya agar dia tak pernah membayangkannya lagi.
“Kenapa, Gi?” Tanya Arga yang melihat Nugi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“E…engga, mas. Cuman sedikit pusing aja,” Jawab Nugi sekenanya.
“Ya udah tidur aja Gi. Masih cukup lama ko, soalnya agak macet gini.” Sambil mendongakkan wajahnya ke depan, ke arah majunya mobil yang secara perlahan.
“Iya, mas.” Nugi memundurkan joknya, lalu memundurkan penyangga tubuhnya hingga membentuk sudut 1400.
Nugi mencoba memejamkan matanya. Namun, seketika imajinasinya menampilkan potret wanita itu dengan canggung meminta kursinya, saat senyumnya yang sangat manis, wajahnya yang cantik serta menarik, saat tertidur dibahunya.
Saat membayangkan itu, Nugi berharap ada bagian saat di mana sang wanita memperkenalkan namanya. Namun, percuma. Bagian itu tidak ada, itu hanya rekaan harapan Nugi semata.
Seketika Nugi teringat dengan tiket kereta wanita itu yang diperlihatkan padanya. Namun, sayang Nugi tak sedikitpun memperhatikan tiketnya apalagi memperhatikan nama wanita itu yang tertera ditiket itu. Menyadari hal itu, dalam hati, Nugi mengutuki dirinya.
Nugi membuka matanya, menormalkan posisi joknya dan berdeham sekali dengan pelan.
“Bandung macet gini ya, mas?” Nugi membuka topik.
“Ya, begitulah Gi.” Sahut Arga sambil mengangkat sebelah bahunya. “katanya sih udah hampir sama kaya Jakarta.”
Untuk mengusir jenuh dan pikiran aneh-anehnya, Nugi terus mengajak Arga berbincang-bincang hingga tiba di kontrakan Arga.
“Gi, tidur di kamar aja bareng gue.”
Ah ga mas, di sini aja deh.” Ucap Nugi sambil menunjuk sofa di ruang tamu yang cukup lebar dan sepertinya empuk juga.
Yah, gue jadi ga enak kalo gitu. Lu kan tamu gue Gi.”
“Udah mas, ga apa-apa.” Sahut Nugi dengan tersenyum.
“Ya udah kalo gitu.” Arga masuk ke dalam kamarnya. Tak lama muncul kembali bersama tumpukan bantal dan selimut yang cukup tebal.
Nih.” Ucap Arga sambil memberikan bantal dan selimutnya kepada Nugi. “Bandung dingin soalnya, kamu harus pake selimut biar ga kedinginan, biar nanti ga sakit juga.”
“Iya mas, makasih banget loh mas.”
“Ya udah lu istirahat aja, Gi. Pasti cape bangetkan. Gue juga masih ada yang mesti dikerjain. Kalo lu mau mandi, kamar mandinya disana, Gi.” Ucap Arga sambil menunjukkan jarinya ke arah kamar mandi berada.
“Iya, mas.”
“Kalo lu laper, makan aja. Kalo pingin mie, ada di lemari yang di atas kompor, telur sama sayur-sayuran ada di kulkas, atau pingin makanan yang lain cek aja di kulkas, tapi bikin sendiri ya. Santai aja anggap aja rumah sendiri! Jangan pake segan.” ucap Arga sambil menepuk-nepuk bahu Nugi.
“Iya, siap mas.”
Setelah Arga masuk ke dalam kamarnya, Nugi bersiap untuk memanjakan tubuhnya dengan air, karena badannya sudah lengket dengan keringat menyebabkan gatal-gatal, yang membuat Nugi tak nyaman.
Bersamaan dengan guyuran air yang menyegarkan, setiap pelukan keringat ditubuhnya pun terlepas dan jatuh ke lantai, lalu masuk ke dalam saluran air bersama air yang mengguyurnya. Namun bayang wanita itu tak pernah ikut lepas bersama guyuran air yang menyapu setiap ujung tubuhnya, dari kepala hingga kaki.
Seusai mandi dan mengganti pakaiannya, Nugi rebahan di sofa sambil memutar musik dari HPnya, sembari memandangi kembali buku peninggalan wanita itu yang dia mainkan ditangannya.
Nugi membuka lembar pertama buku itu di kanan bawah halaman pertama itu tertulis dengan rapih sebuah nama dan tanda tangan yang diguratkan dengan sebuah pena bertinta hitam, nama itu adalah Irena.
Oh… jadi nama wanita itu ternyata Irena.” Nugi tersenyum bahagia. “Kenapa ga dari tadi aja aku buka-buka ini buku.” Rutuki hatinya lagi.
Nugi mulai membaca buku itu dari lembar pertama.
Tiba-tiba Hpnya bergetar, Nugi pun meraih HPnya.
Indah (sayang), nama itu tampil disertai potret seorang wanita berparas manis, dengan rambut berurai tertiup angin, serta senyum tipisnya yang membuat gigi gingsulnya muncul ikut terfoto.
Shit!!! Aku sampe lupa ngabarin pacar sendiri.” Dengan buru-buru Nugi menerima panggilan masuk itu. Sebelum mendekatkan HP ke telinganya, Nugi sedikit berdeham untuk mengatur suaranya.
“Hallo, sayang?” ucap Nugi dengan suara lemah agar terdengar seperti sedang kelelahan.
“Hallo, sayang. Ko’ suaranya lemes gitu?”
“Iya nih, gara-gara kecapean kayanya. Maaf juga ya aku lupa buat ngabarin, soalnya pas sampe udah dijemput terus waktu dimobil aku langsung tidur, dan sampe sini langsung mandi, terus makan juga.”
“Iya, ga apa-apa ko, aku cuman khawatir aja. Terus sekarang lagi apa, sayang?”
“Lagi rebahan aja, tadinya mau tidur.”
“Yah… maaf deh sayang aku udah ganggu.”
“Ga apa-apa ko.”
“Ya udah gih istirahat aja.”
“Iya.”
“Bye…. Love you!
Love you too.”
Setelah sambungan telpon terputus, Nugi memandangi telfon genggamnya, dia tersenyum kecut, lalu mengutuk dirinya sendiri. “Pembohong!
Nugi menggelengkan kepalanya. Dia merasa tak terima hatinya men-judge dirinya pembohong. Lalu tangannya mengusap wajahnya agar dirinya tersedar dan menyudahi perdebatan antara hati dan pikirannya.
Nugi menaruh HPnya, juga buku peninggalan wanita itu di atas meja dekat sofa tempatnya berbaring. Dia berusaha untuk tertidur. Namun, bayang-bayang wanita itu muncul kembali ke dalam benaknya. Nugi hanya mampu menikmati, dan tak ingin melawan, karena hanya dalam benaknya, dia mampu menikmati keindahan wanita yang telah mencuri seuatu dari hidupnya tanpa ia mampu melawan.
Selamat malam, Indah.” Nugi menghela nafas dalam-dalam. “Selamat Malam, Irena. Mungkinkah kita bertemu lagi?” Nugi membiarkan pertanyaannya menggantung di langit, membiarkan waktu yang akan menjawabnya.



[1] Asalkata dari Teteh yang berarti kakak perempuan/panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa sunda.
www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com