Seturunnya
dari kereta, Renvy berjalan menuju pintu keluar. Dalam benaknya masih terbayang
saat dia tertidur dibahu seorang lelaki, yang namanya saja dia tak tau. Namun,
saat berbicara dengan lelaki itu,
suasana hati Renvy yang gersang mendadak menjadi begitu sejuk.
Menyadari
benaknya sudah membayangkan yang aneh-aneh,
Renvy pun berusaha menepis pikiran itu dalam
benaknya yang disertai dengan umpatan dari mulutnya. Berharap pikiran
macam-macamnya itu bisa keluar beriringan bersama umpatannya.
Tepat
disekitar gerbang keluar, supir keluarga Renvy, sudah menunggu kedatangan
Renvy sejak satu jam yang lalu.
“Teh[1]
Ren?” teriak sang supir saat melihat Renvy muncul dari pintu keluar.
Suara
tak asing ditelinga Renvy itu membuat dia mengedarkan mata ke sekitarnya untuk mencari sang
pemanggil.
Saat
sang pemanggil sudah diketemukan, dengan girang Renvy menyahut sambil
melambai-lambaikan tangannya ke udara. “Mamaaaaang….”
“Sini teh, biar mamang aja yang bawa tasnya.” Pinta sang supir saat sudah berada
dihadapan Renvy.
“Iya,
mang.” Ucap Renvy sambil memberikan tas ranselnya. “mobilnya di mana mang?”
“Di sana teh.” Sang supir
menunjuk ke arah parkiran mobil. “hayu
teh!” ajak sang supir sambil melangkah menuju parkiran yang diikuti oleh Renvy.
Setibanya
dalam mobil, Renvy merebahkan tubuhnya dibangku belakang mobilnya. “Ah….
Leganya, mang.” Ucap Renvy sambil meregangkan tubuhnya.
“Gimana teh liburannya?” Seru dong? Ditinggal di sana kan kesedihannya?” Tanya
sang supir dengan senyum menggoda.
Terkadang
sang supir menjadi teman berkeluh-kesahnya Renvy, entah saat dia sedih, kecewa,
atau patah hati, bahkan senang sekalipun.
Walaupun sang supir tak bisa dibilang muda. Namun, supir itu memiliki pemikiran
dan gaya seperti anak muda.
Yang
membuat Renvy lebih terbuka kepada supir keluarganya dibanding kepada
keluarganya sendiri adalah dia bebas mengutarakan sesuatu tanpa mendapatkan penghakiman, tentang dia
salah atau benar. Karena
sang supir hanya sebatas memberikan
pandangan, dan
membiarkan Renvy memutuskan sendiri tentang benar atau salahnya.
“Ya…
begitulah.” Jawab Renvy sambil membuang sekali nafas dari mulutnya. Namun
langsung tersirat senyum bahagia dari bibirnya.
“Kayanya
ada yang berkesan-kesan gimanaaaa gitu yah,
teh?” lanjut goda sang supir yang
begitu hapal dengan karakter Renvy.
“Hmmm….”
Renvy berpikir. “ah apa sih, mamang
kepo deh ah.” Jawab Renvy sambil menepuk jok mobil sang supir, diikuti tawaan
dari sang supir.
Sang
supir sempat khawatir sejak Renvy putus dengan mantannya yang kemarin, yang
begitu menyakitkan bagi Renvy. Hingga Renvy begitu sangat murung, tak sebahagia dan seriang
biasanya. Mungkin, jika tak ada keluarga dan sahabatnya yang bersedia men-support Renvy secara moril, mungkin
Renvy sudah mati karena depresi.
Karena
saat-saat seperti itu, ucapan-ucapan dalam pikiran menjadi beban yang sangat
berat, hingga membuat diri selalu termenung, tak enak untuk melakukan apapun.
Bahkan hanya untuk
sebatas tersenyum.
Keterpurukan
Renvy yang membuat sang supir khawatir dengan kondisi nonanya. Hati yang patah, harus dibalut dengan hati
lagi. Seperti karet ban yang bocor, ditambal dengan karet ban lagi. Pikir
sang supir. Namun, dia tak tau harus menjodohkan Renvy dengan siapa.
Karena
dia tak memiliki calon, maka dia cukup menjadi teman berbagi keluh-kesah agar
meringankan sedikit beban nonanya.
Awalnya
Renvy merasa privasinya terganggu. Ia sempat marah dengan cara
diam, tak menyapa, bertanya atau
sebatas senyum meski sang supir sudah begitu ramah kepadanya. Namun sang supir
selalu memberikan penjelasan kepada Renvy tentang maksudnya.
Hingga suatu saat, petuah sang supir mampu membuat
pikiran dan hati Renvy yang keras menjadi melunak, dan mau terbuka dan berbagi
keluh-kesahnya kepada sang supir. Setiap ada beban yang mengganjal hati atau
dirinya, Renvy selalu berkeluh kesah kepada si mamang, seperti seorang sakit jiwa yang mendatangi psikiater.
“Semoga
badai sudah berlalu ya, Teh.”
“Ah…. Mamang ini.” Sahut nya sambil tertawa.
“Eh… teh, kalo ada yang ngedoain itu di aamiin-in, bukan diketawain.”
“Iya…
deh iyaaaaaaa mang, aamiin!”
“Nah
gitu dong.” Ucap sang supir sambil tersenyum. “Mau ke mana sekarang, teh?”
“Pulang
aja mang, teteh butuh istirahat berkualitas.”
“Oke, teh. Berangkat!!!”
Sang
supir pun menginjak pedal gas, dan mobil itu melaju, menjauh, meninggalkan
Stasiun Bandung. Namun, kenangan yang membawa Renvy kembali ke sana tepat pada hari itu dari
liburannya tetap mengikutinya. Dia
berharap, semoga usahanya tak sia-sia agar dapat bertemu
kembali dengan lelaki itu.
***
“Hallo
Bung Fandy?” Arga menjawab telfon masuk sambil mengendarai mobilnya.
“Adik
gue udah lu jemput, kan?” suara Fandy menyahut dari seberang telpon.
“Sudah
tuan besar, sudah sahaya jemput dengan selamat dan sentausa, tuan ku.”
“Haha…
kampret lu.” Ucap Fandy terpingkal. “Kerasukan arwah budak kerajaannya kambuh nih, kali-kali tu kerasukan rajanya kek
biar berkelas.”
“sialan,
lu!” jawab Arga terbahak.
Nugi
memperhatikan sekilas tingkah Arga dan kakanya, Fandy, yang sedang bertingkah
konyol, dan membuat Nugi tersenyum-senyum sendiri.
Nugi
baru menyadari sedaritadi dia menggenggam buku yang ditemukannya di kereta. Nugi
membalikkan buku itu dan membaca cover belakang
buku itu yang tertulis sekilas tentang profil Kahlil Gibran, dan adapun sebagian
syair-syair karyanya yang berbunyi:
Kami berdiri dan mengucapkan selamat berpisah.
Namun, cinta dan keputus asaan berdiri diantra kami seperti dua hantu
Yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari ditenggorokan kami
Sementara yang satu lagi menangis dan yang lein tertawa.
Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium,
Ia mendekat padaku dan mencium dahiku.
Ia menutu matanya dan berbisik lembut,
"Oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkanlah sayap patahku."
Namun, cinta dan keputus asaan berdiri diantra kami seperti dua hantu
Yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari ditenggorokan kami
Sementara yang satu lagi menangis dan yang lein tertawa.
Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium,
Ia mendekat padaku dan mencium dahiku.
Ia menutu matanya dan berbisik lembut,
"Oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkanlah sayap patahku."
Entah
mengapa syair itu membuat hatinya bergetar, lalu membawa benaknya kepada
saat-saat dia terbangun dari tidurnya di gerbong kereta deret kursi 10
A-B karena sebuah panggilan masuk yang
menyadarkannya dari alam mimpi. Lalu
mendapati seorang bidadari tertidur nyaman bersandar kepala tepat dibahunya.
Nugi
merasa seperti ada yang hilang dari jiwanya. Ia merasa ada yang hilang semenjak wanita itupun
menghilang dari pandangannya. “Apa perasaan
ku yang dia ambil tanpa perlawanan dariku sedikitpun seharga dengan buku yang
ia tinggalkan dengan tanpa sengaja?” pikirannya bertanya.
Hanya
keajaiban yang akan mampu mempertemukannya kembali. Tanpa tau nama, tanpa tau
asal, tanpa tau alamat, dan tanpa tau sedikitpun tentangnya. Yang dia tau hanyalah paras
wanita itu yang cantik!
Lampu
merah sudah berubah menjadi hijau. Namun, kondisi jalan masih tersendat. Suara
bising klakson mulai riuh, dan menyadarkan Nugi dari lamunannya.
Menyadari
dia sudah membayangkan sesuatu yang lancang. Nugi langsung menggeleng-gelengkan
kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berharap pikiran itu jatuh dari otaknya agar
dia tak pernah membayangkannya
lagi.
“Kenapa,
Gi?” Tanya Arga yang melihat Nugi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“E…engga,
mas. Cuman sedikit pusing
aja,” Jawab
Nugi sekenanya.
“Ya udah
tidur aja Gi. Masih cukup lama ko, soalnya agak macet gini.” Sambil
mendongakkan wajahnya ke depan,
ke arah
majunya mobil yang secara perlahan.
“Iya,
mas.” Nugi memundurkan joknya, lalu memundurkan penyangga tubuhnya hingga
membentuk sudut 1400.
Nugi
mencoba memejamkan matanya. Namun, seketika imajinasinya menampilkan potret
wanita itu dengan canggung meminta kursinya, saat senyumnya yang sangat manis,
wajahnya yang cantik serta menarik, saat tertidur dibahunya.
Saat
membayangkan itu, Nugi berharap ada bagian saat di mana sang wanita
memperkenalkan namanya. Namun, percuma. Bagian itu tidak ada, itu hanya rekaan
harapan Nugi semata.
Seketika
Nugi teringat dengan tiket kereta wanita itu yang diperlihatkan padanya. Namun,
sayang Nugi tak sedikitpun memperhatikan
tiketnya apalagi memperhatikan nama wanita itu yang tertera ditiket itu.
Menyadari hal itu, dalam hati, Nugi mengutuki dirinya.
Nugi
membuka matanya, menormalkan posisi joknya dan berdeham sekali dengan pelan.
“Bandung
macet gini ya, mas?” Nugi membuka topik.
“Ya,
begitulah Gi.” Sahut Arga sambil mengangkat sebelah bahunya. “katanya sih udah hampir sama kaya Jakarta.”
Untuk
mengusir jenuh dan pikiran aneh-anehnya, Nugi terus mengajak Arga
berbincang-bincang hingga tiba di kontrakan Arga.
“Gi,
tidur di kamar aja bareng gue.”
“Ah ga mas, di sini aja deh.” Ucap Nugi
sambil menunjuk sofa di ruang
tamu yang cukup lebar dan sepertinya empuk juga.
“Yah, gue jadi ga enak kalo gitu. Lu kan
tamu gue Gi.”
“Udah
mas, ga apa-apa.” Sahut Nugi dengan tersenyum.
“Ya udah
kalo gitu.” Arga masuk ke dalam
kamarnya. Tak lama muncul kembali bersama tumpukan bantal dan selimut yang
cukup tebal.
“Nih.” Ucap Arga sambil memberikan bantal
dan selimutnya kepada Nugi. “Bandung dingin soalnya, kamu harus pake selimut
biar ga kedinginan, biar nanti ga sakit juga.”
“Iya
mas, makasih banget loh mas.”
“Ya udah
lu istirahat aja, Gi. Pasti cape bangetkan. Gue juga masih ada yang mesti
dikerjain. Kalo lu mau mandi, kamar mandinya disana, Gi.” Ucap Arga sambil
menunjukkan jarinya ke arah kamar mandi berada.
“Iya,
mas.”
“Kalo lu
laper, makan aja. Kalo pingin mie, ada di lemari yang di atas kompor, telur sama
sayur-sayuran ada di kulkas, atau pingin makanan yang lain cek aja di kulkas, tapi bikin sendiri
ya. Santai aja anggap aja rumah sendiri! Jangan pake segan.” ucap Arga sambil
menepuk-nepuk bahu Nugi.
“Iya,
siap mas.”
Setelah
Arga masuk ke dalam
kamarnya, Nugi bersiap untuk memanjakan tubuhnya dengan air, karena badannya
sudah lengket dengan
keringat menyebabkan gatal-gatal, yang membuat Nugi tak nyaman.
Bersamaan
dengan guyuran air yang menyegarkan, setiap pelukan keringat ditubuhnya pun
terlepas dan jatuh ke lantai,
lalu masuk ke dalam
saluran air bersama air yang mengguyurnya. Namun bayang wanita itu tak pernah
ikut lepas bersama guyuran air yang menyapu setiap ujung tubuhnya, dari kepala
hingga kaki.
Seusai
mandi dan mengganti pakaiannya, Nugi rebahan di sofa sambil memutar musik dari HPnya, sembari memandangi
kembali buku peninggalan wanita itu yang dia mainkan ditangannya.
Nugi
membuka lembar pertama buku itu di kanan bawah halaman pertama
itu tertulis dengan rapih sebuah nama dan tanda tangan yang diguratkan dengan
sebuah pena bertinta hitam, nama itu adalah Irena.
“Oh… jadi nama wanita itu ternyata Irena.”
Nugi tersenyum bahagia. “Kenapa ga dari
tadi aja aku buka-buka ini buku.” Rutuki hatinya lagi.
Nugi
mulai membaca buku itu dari lembar pertama.
Tiba-tiba
Hpnya bergetar, Nugi pun meraih HPnya.
Indah
(sayang), nama itu tampil disertai potret seorang wanita berparas manis, dengan
rambut berurai tertiup angin, serta senyum tipisnya yang membuat gigi
gingsulnya muncul ikut terfoto.
“Shit!!! Aku sampe lupa ngabarin pacar sendiri.” Dengan buru-buru Nugi
menerima panggilan masuk itu.
Sebelum mendekatkan HP ke telinganya, Nugi sedikit berdeham untuk mengatur
suaranya.
“Hallo,
sayang?” ucap Nugi dengan suara lemah agar terdengar seperti sedang kelelahan.
“Hallo,
sayang. Ko’ suaranya lemes gitu?”
“Iya
nih, gara-gara kecapean kayanya. Maaf juga ya aku lupa buat ngabarin, soalnya
pas sampe udah dijemput terus waktu dimobil aku langsung tidur, dan sampe sini
langsung mandi, terus makan juga.”
“Iya, ga
apa-apa ko, aku cuman khawatir aja. Terus sekarang lagi apa, sayang?”
“Lagi
rebahan aja, tadinya mau tidur.”
“Yah…
maaf deh sayang aku udah ganggu.”
“Ga
apa-apa ko.”
“Ya udah
gih istirahat aja.”
“Iya.”
“Bye…. Love you!”
“Love you too.”
Setelah
sambungan telpon terputus, Nugi memandangi telfon genggamnya, dia tersenyum
kecut, lalu mengutuk dirinya sendiri. “Pembohong!”
Nugi
menggelengkan kepalanya. Dia merasa tak terima hatinya men-judge dirinya pembohong. Lalu tangannya mengusap wajahnya agar
dirinya tersedar dan menyudahi perdebatan antara hati dan pikirannya.
Nugi
menaruh HPnya,
juga buku peninggalan wanita itu di atas meja dekat sofa
tempatnya berbaring. Dia berusaha untuk tertidur. Namun, bayang-bayang wanita
itu muncul kembali ke dalam
benaknya. Nugi hanya mampu menikmati, dan tak ingin melawan, karena hanya dalam
benaknya, dia mampu menikmati keindahan wanita yang telah mencuri seuatu dari
hidupnya tanpa ia mampu melawan.
“Selamat malam, Indah.” Nugi menghela nafas dalam-dalam. “Selamat Malam, Irena. Mungkinkah kita
bertemu lagi?” Nugi membiarkan pertanyaannya menggantung di langit, membiarkan waktu yang akan menjawabnya.
[1] Asalkata dari Teteh yang berarti kakak perempuan/panggilan untuk
anak perempuan dalam bahasa sunda.
0 komentar:
Posting Komentar