Jumat, 15 September 2017

6. Terbawa Pergi dan Mulai Berganti

Seturunnya dari kereta, Renvy berjalan menuju pintu keluar. Dalam benaknya masih terbayang saat dia tertidur dibahu seorang lelaki, yang namanya saja dia tak tau. Namun, saat berbicara dengan lelaki itu, suasana hati Renvy yang gersang mendadak menjadi begitu sejuk.
Menyadari benaknya sudah membayangkan yang aneh-aneh, Renvy pun berusaha menepis pikiran itu dalam benaknya yang disertai dengan umpatan dari mulutnya. Berharap pikiran macam-macamnya itu bisa keluar beriringan bersama umpatannya.
Tepat disekitar gerbang keluar, supir keluarga Renvy, sudah menunggu kedatangan Renvy sejak satu jam yang lalu.
Teh[1] Ren?” teriak sang supir saat melihat Renvy muncul dari pintu keluar.
Suara tak asing ditelinga Renvy itu membuat dia mengedarkan mata ke sekitarnya untuk mencari sang pemanggil.
Saat sang pemanggil sudah diketemukan, dengan girang Renvy menyahut sambil melambai-lambaikan tangannya ke udara. “Mamaaaaang….”
“Sini teh, biar mamang aja yang bawa tasnya.” Pinta sang supir saat sudah berada dihadapan Renvy.
“Iya, mang.” Ucap Renvy sambil memberikan tas ranselnya. “mobilnya di mana mang?”
“Di sana teh.” Sang supir menunjuk ke arah parkiran mobil. “hayu teh!” ajak sang supir sambil melangkah menuju parkiran yang diikuti oleh Renvy.
Setibanya dalam mobil, Renvy merebahkan tubuhnya dibangku belakang mobilnya. “Ah…. Leganya, mang.” Ucap Renvy sambil meregangkan tubuhnya.
“Gimana teh liburannya?” Seru dong? Ditinggal di sana kan kesedihannya?” Tanya sang supir dengan senyum menggoda.
Terkadang sang supir menjadi teman berkeluh-kesahnya Renvy, entah saat dia sedih, kecewa, atau patah hati, bahkan senang sekalipun. Walaupun sang supir tak bisa dibilang muda. Namun, supir itu memiliki pemikiran dan gaya seperti anak muda.
Yang membuat Renvy lebih terbuka kepada supir keluarganya dibanding kepada keluarganya sendiri adalah dia bebas mengutarakan sesuatu tanpa mendapatkan penghakiman, tentang dia salah atau benar. Karena sang supir hanya sebatas memberikan pandangan, dan membiarkan Renvy memutuskan sendiri tentang benar atau salahnya.
“Ya… begitulah.” Jawab Renvy sambil membuang sekali nafas dari mulutnya. Namun langsung tersirat senyum bahagia dari bibirnya.
“Kayanya ada yang berkesan-kesan gimanaaaa gitu yah, teh?” lanjut goda sang supir yang begitu hapal dengan karakter Renvy.
“Hmmm….” Renvy berpikir. “ah apa sih, mamang kepo deh ah.” Jawab Renvy sambil menepuk jok mobil sang supir, diikuti tawaan dari sang supir.
Sang supir sempat khawatir sejak Renvy putus dengan mantannya yang kemarin, yang begitu menyakitkan bagi Renvy. Hingga Renvy begitu sangat murung, tak sebahagia dan seriang biasanya. Mungkin, jika tak ada keluarga dan sahabatnya yang bersedia men-support Renvy secara moril, mungkin Renvy sudah mati karena depresi.
Karena saat-saat seperti itu, ucapan-ucapan dalam pikiran menjadi beban yang sangat berat, hingga membuat diri selalu termenung, tak enak untuk melakukan apapun. Bahkan hanya untuk sebatas tersenyum.
Keterpurukan Renvy yang membuat sang supir khawatir dengan kondisi nonanya. Hati yang patah, harus dibalut dengan hati lagi. Seperti karet ban yang bocor, ditambal dengan karet ban lagi. Pikir sang supir. Namun, dia tak tau harus menjodohkan Renvy dengan siapa.
Karena dia tak memiliki calon, maka dia cukup menjadi teman berbagi keluh-kesah agar meringankan sedikit beban nonanya.
Awalnya Renvy merasa privasinya terganggu. Ia sempat marah dengan cara diam, tak menyapa, bertanya atau sebatas senyum meski sang supir sudah begitu ramah kepadanya. Namun sang supir selalu memberikan penjelasan kepada Renvy tentang maksudnya.
Hingga suatu saat, petuah sang supir mampu membuat pikiran dan hati Renvy yang keras menjadi melunak, dan mau terbuka dan berbagi keluh-kesahnya kepada sang supir. Setiap ada beban yang mengganjal hati atau dirinya, Renvy selalu berkeluh kesah kepada si mamang, seperti seorang sakit jiwa yang mendatangi psikiater.
“Semoga badai sudah berlalu ya, Teh.”
“Ah…. Mamang ini.” Sahut nya sambil tertawa.
“Eh… teh, kalo ada yang ngedoain itu di aamiin-in, bukan diketawain.”
“Iya… deh iyaaaaaaa mang, aamiin!”
“Nah gitu dong.” Ucap sang supir sambil tersenyum. “Mau ke mana sekarang, teh?”
“Pulang aja mang, teteh butuh istirahat berkualitas.”
“Oke, teh. Berangkat!!!”
Sang supir pun menginjak pedal gas, dan mobil itu melaju, menjauh, meninggalkan Stasiun Bandung. Namun, kenangan yang membawa Renvy kembali ke sana tepat pada hari itu dari liburannya tetap mengikutinya. Dia berharap, semoga usahanya tak sia-sia agar dapat bertemu kembali dengan lelaki itu.

***

“Hallo Bung Fandy?” Arga menjawab telfon masuk sambil mengendarai mobilnya.
“Adik gue udah lu jemput, kan?” suara Fandy menyahut dari seberang telpon.
“Sudah tuan besar, sudah sahaya jemput dengan selamat dan sentausa, tuan ku.”
“Haha… kampret lu.” Ucap Fandy terpingkal. “Kerasukan arwah budak kerajaannya kambuh nih, kali-kali tu kerasukan rajanya kek biar berkelas.”
“sialan, lu!” jawab Arga terbahak.
Nugi memperhatikan sekilas tingkah Arga dan kakanya, Fandy, yang sedang bertingkah konyol, dan membuat Nugi tersenyum-senyum sendiri.
Nugi baru menyadari sedaritadi dia menggenggam buku yang ditemukannya di kereta. Nugi membalikkan buku itu dan membaca cover belakang buku itu yang tertulis sekilas tentang profil Kahlil Gibran, dan adapun sebagian syair-syair karyanya yang berbunyi:

Kami berdiri dan mengucapkan selamat berpisah.
Namun, cinta dan keputus asaan berdiri diantra kami seperti dua hantu
Yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari ditenggorokan kami
Sementara yang satu lagi menangis dan yang lein tertawa.

Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium,
Ia mendekat padaku dan mencium dahiku.
Ia menutu matanya dan berbisik lembut,
"Oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkanlah sayap patahku."

Entah mengapa syair itu membuat hatinya bergetar, lalu membawa benaknya kepada saat-saat dia terbangun dari tidurnya di gerbong kereta deret kursi 10 A-B karena sebuah panggilan masuk yang menyadarkannya dari alam mimpi. Lalu mendapati seorang bidadari tertidur nyaman bersandar kepala tepat dibahunya.
Nugi merasa seperti ada yang hilang dari jiwanya. Ia merasa ada yang hilang semenjak wanita itupun menghilang dari pandangannya. “Apa perasaan ku yang dia ambil tanpa perlawanan dariku sedikitpun seharga dengan buku yang ia tinggalkan dengan tanpa sengaja?” pikirannya bertanya.
Hanya keajaiban yang akan mampu mempertemukannya kembali. Tanpa tau nama, tanpa tau asal, tanpa tau alamat, dan tanpa tau sedikitpun tentangnya. Yang dia tau hanyalah paras wanita itu yang cantik!
Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Namun, kondisi jalan masih tersendat. Suara bising klakson mulai riuh, dan menyadarkan Nugi dari lamunannya.
Menyadari dia sudah membayangkan sesuatu yang lancang. Nugi langsung menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berharap pikiran itu jatuh dari otaknya agar dia tak pernah membayangkannya lagi.
“Kenapa, Gi?” Tanya Arga yang melihat Nugi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“E…engga, mas. Cuman sedikit pusing aja,” Jawab Nugi sekenanya.
“Ya udah tidur aja Gi. Masih cukup lama ko, soalnya agak macet gini.” Sambil mendongakkan wajahnya ke depan, ke arah majunya mobil yang secara perlahan.
“Iya, mas.” Nugi memundurkan joknya, lalu memundurkan penyangga tubuhnya hingga membentuk sudut 1400.
Nugi mencoba memejamkan matanya. Namun, seketika imajinasinya menampilkan potret wanita itu dengan canggung meminta kursinya, saat senyumnya yang sangat manis, wajahnya yang cantik serta menarik, saat tertidur dibahunya.
Saat membayangkan itu, Nugi berharap ada bagian saat di mana sang wanita memperkenalkan namanya. Namun, percuma. Bagian itu tidak ada, itu hanya rekaan harapan Nugi semata.
Seketika Nugi teringat dengan tiket kereta wanita itu yang diperlihatkan padanya. Namun, sayang Nugi tak sedikitpun memperhatikan tiketnya apalagi memperhatikan nama wanita itu yang tertera ditiket itu. Menyadari hal itu, dalam hati, Nugi mengutuki dirinya.
Nugi membuka matanya, menormalkan posisi joknya dan berdeham sekali dengan pelan.
“Bandung macet gini ya, mas?” Nugi membuka topik.
“Ya, begitulah Gi.” Sahut Arga sambil mengangkat sebelah bahunya. “katanya sih udah hampir sama kaya Jakarta.”
Untuk mengusir jenuh dan pikiran aneh-anehnya, Nugi terus mengajak Arga berbincang-bincang hingga tiba di kontrakan Arga.
“Gi, tidur di kamar aja bareng gue.”
Ah ga mas, di sini aja deh.” Ucap Nugi sambil menunjuk sofa di ruang tamu yang cukup lebar dan sepertinya empuk juga.
Yah, gue jadi ga enak kalo gitu. Lu kan tamu gue Gi.”
“Udah mas, ga apa-apa.” Sahut Nugi dengan tersenyum.
“Ya udah kalo gitu.” Arga masuk ke dalam kamarnya. Tak lama muncul kembali bersama tumpukan bantal dan selimut yang cukup tebal.
Nih.” Ucap Arga sambil memberikan bantal dan selimutnya kepada Nugi. “Bandung dingin soalnya, kamu harus pake selimut biar ga kedinginan, biar nanti ga sakit juga.”
“Iya mas, makasih banget loh mas.”
“Ya udah lu istirahat aja, Gi. Pasti cape bangetkan. Gue juga masih ada yang mesti dikerjain. Kalo lu mau mandi, kamar mandinya disana, Gi.” Ucap Arga sambil menunjukkan jarinya ke arah kamar mandi berada.
“Iya, mas.”
“Kalo lu laper, makan aja. Kalo pingin mie, ada di lemari yang di atas kompor, telur sama sayur-sayuran ada di kulkas, atau pingin makanan yang lain cek aja di kulkas, tapi bikin sendiri ya. Santai aja anggap aja rumah sendiri! Jangan pake segan.” ucap Arga sambil menepuk-nepuk bahu Nugi.
“Iya, siap mas.”
Setelah Arga masuk ke dalam kamarnya, Nugi bersiap untuk memanjakan tubuhnya dengan air, karena badannya sudah lengket dengan keringat menyebabkan gatal-gatal, yang membuat Nugi tak nyaman.
Bersamaan dengan guyuran air yang menyegarkan, setiap pelukan keringat ditubuhnya pun terlepas dan jatuh ke lantai, lalu masuk ke dalam saluran air bersama air yang mengguyurnya. Namun bayang wanita itu tak pernah ikut lepas bersama guyuran air yang menyapu setiap ujung tubuhnya, dari kepala hingga kaki.
Seusai mandi dan mengganti pakaiannya, Nugi rebahan di sofa sambil memutar musik dari HPnya, sembari memandangi kembali buku peninggalan wanita itu yang dia mainkan ditangannya.
Nugi membuka lembar pertama buku itu di kanan bawah halaman pertama itu tertulis dengan rapih sebuah nama dan tanda tangan yang diguratkan dengan sebuah pena bertinta hitam, nama itu adalah Irena.
Oh… jadi nama wanita itu ternyata Irena.” Nugi tersenyum bahagia. “Kenapa ga dari tadi aja aku buka-buka ini buku.” Rutuki hatinya lagi.
Nugi mulai membaca buku itu dari lembar pertama.
Tiba-tiba Hpnya bergetar, Nugi pun meraih HPnya.
Indah (sayang), nama itu tampil disertai potret seorang wanita berparas manis, dengan rambut berurai tertiup angin, serta senyum tipisnya yang membuat gigi gingsulnya muncul ikut terfoto.
Shit!!! Aku sampe lupa ngabarin pacar sendiri.” Dengan buru-buru Nugi menerima panggilan masuk itu. Sebelum mendekatkan HP ke telinganya, Nugi sedikit berdeham untuk mengatur suaranya.
“Hallo, sayang?” ucap Nugi dengan suara lemah agar terdengar seperti sedang kelelahan.
“Hallo, sayang. Ko’ suaranya lemes gitu?”
“Iya nih, gara-gara kecapean kayanya. Maaf juga ya aku lupa buat ngabarin, soalnya pas sampe udah dijemput terus waktu dimobil aku langsung tidur, dan sampe sini langsung mandi, terus makan juga.”
“Iya, ga apa-apa ko, aku cuman khawatir aja. Terus sekarang lagi apa, sayang?”
“Lagi rebahan aja, tadinya mau tidur.”
“Yah… maaf deh sayang aku udah ganggu.”
“Ga apa-apa ko.”
“Ya udah gih istirahat aja.”
“Iya.”
“Bye…. Love you!
Love you too.”
Setelah sambungan telpon terputus, Nugi memandangi telfon genggamnya, dia tersenyum kecut, lalu mengutuk dirinya sendiri. “Pembohong!
Nugi menggelengkan kepalanya. Dia merasa tak terima hatinya men-judge dirinya pembohong. Lalu tangannya mengusap wajahnya agar dirinya tersedar dan menyudahi perdebatan antara hati dan pikirannya.
Nugi menaruh HPnya, juga buku peninggalan wanita itu di atas meja dekat sofa tempatnya berbaring. Dia berusaha untuk tertidur. Namun, bayang-bayang wanita itu muncul kembali ke dalam benaknya. Nugi hanya mampu menikmati, dan tak ingin melawan, karena hanya dalam benaknya, dia mampu menikmati keindahan wanita yang telah mencuri seuatu dari hidupnya tanpa ia mampu melawan.
Selamat malam, Indah.” Nugi menghela nafas dalam-dalam. “Selamat Malam, Irena. Mungkinkah kita bertemu lagi?” Nugi membiarkan pertanyaannya menggantung di langit, membiarkan waktu yang akan menjawabnya.



[1] Asalkata dari Teteh yang berarti kakak perempuan/panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa sunda.

0 komentar:

Posting Komentar

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com