“Permisi?” terdengar suara seorang wanita berkata
kepada seorang laki-laki yang sedang tertidur di deret kursi 10 A-B. Lelaki itu
adalah Nugi. “Permisi...” ulang wanita itu hingga tiga kali. Namun, sapaan wanita
itu tak sedikitpun mengusik Nugi dari tidurnya.
Melihat Nugi yang tak terusik sedikitpun, akhirnya wanita itu memberanikan diri untuk menepuk-nepuk lengan Nugi sambil kembali
berkata. “Permisi...”
Nugi yang merasa terusik oleh tepukan yang
hinggap dilengannya, akhirnya membuka mata. Namun, sama sekali tak menghiraukan
apa yang tadi mengusik tidurnya. Karena ketika matanya terbuka, tatapannya
langsung terfokus pada pemandangan yang disajikan oleh jendela kereta dengan bentuk persegi dan disetiap ujungnya berbentuk lancip.
“Stasiun!”
kata itu yang langsung berteriak dipikirannya. “Cepet banget, perasaan baru aja tadi berangkat.” ekspresinya berubah menjadi keheranan.
Nugi tidak menyadari ada seorang wanita berdiri
di samping deretan kursi 10 A-B, yang memperhatikannya dengan heran, sambil menggerutu
dalam hatinya. “Sial, gue dicuekin gitu
aja. Fix nih cowo, NGESELIN !!!”
“Mas?” suara wanita itu memutus pandangan Nugi
dari keheranan. Ia langsung menoleh ke arah suara yang menyapanya.
Mata Nugi mendapati sesosok wanita berparas
cantik, dengan rambut jatuh sebahu, berkacamata dengan bentuk persegi
panjang yang menbuat wanita itu terlihat manis. Belum lagi hidungnya yang cukup
mancung membuat kacamatanya betah menggantung di depan matanya.
“I...iya, ada apa, ya?” jawabnya bingung.
“Maaf mas, di situ tempat duduk saya.” Ucap
wanita itu sambil menunjukkan selembar tiket dengan senyum yang canggung.
“Hah?”
Nugi kaget mendengar ucapan wanita itu, membuat dia tidak memperhatikan sedikitpun tiket yang ditunjukkan kepadanya. "Ga
mungkin salah, ini kursi 10 ko. Dan ini
pun gerbong tepat seperti yang ditunjukkan oleh Prami yang aku tanya tadi." Hatinya berucap, sambil memandangi nomor yang tersemat di dinding gerbong.
“Hallo, mas?”
Sapaan wanita itu menyadarkan Nugi dari
keterheranannya. “Hah i...iya, mbak. Ini
kursi saya ko.” Nugi meraih tiket di sakunya.
“Saya juga nomer 10.” Sambil menunjukkan tiketnya kepada wanita itu.
Wanita itu memperhatikan lembaran tiket Nugi.
“Saya ga salah gerbongkan, mbak?” tanya Nugi
saat wanita itu melihat lembaran tiketnya.
Mendengar pertanyaan Nugi, pipi wanita itu
merona merah. Seperti langit pagi yang baru disapa mentari. Mungkin karena kejadian
sebelum dia bertemu dengan lelaki yang menduduki kursinya yang membuat dia
merasa malu.
Sebelum dia menemukan tempat duduknya, dia
sempat salah kursi. Dia keliru saat menghitung gerbong kereta. Merasa sudah terbiasa
naik kereta, dia tak memperhatikan setiap gerbong dengan jelas atau sekedar
bertanya kepada Prami yang selalu stay
di setiap pintu gerbong untuk membantu para penumpang yang kebingungan dengan tempat
duduknya, atau sekedar memastikan bahwa perkiraannya tentang gerbong yang harus
dinaiki tak keliru.
Ditiketnya tertera 10-A/3. Tanpa memperhatikan
rangkaian kereta dengan seksama, dia langsung menghampiri rangkaian kereta ke-3
dari lokomotif, lalu mencari tempat duduknya. Tak menghiraukan jika gerbong ke
dua yang berjajar di belakang lokomotif itu adalah kereta makan (kantin).
Setelah menemukan nomor tempat duduknya,
wanita itu duduk dengan santai sambil memperhatikan keluar jendela kereta, hingga
akhirnya ia tertidur. Dan tiba-tiba saja dua orang laki-laki mengusik tidurnya.
“Mbak? Maaf, mbak?” ujar laki-laki itu sambil
menepuk lengan sang wanita.
Wanita itu pun terbangun dan kaget saat mendapati
dua orang laki-laki berdiri di samping deretan kursinya.
“I…iya, ada apa, ya?” tanyanya dengan ekspresi
heran dan takut.
“Maaf mbak, di sini tempat duduk kita.”
Ucap laki-laki yang tadi membangunkannya sambil mengarahkan ibu jarinya ke arah
dadanya serta seseorang yang berada dibelakangnya.
“What?”
hati dan batinnya berteriak. Diikuti mulutnya yang langsung berucap. “Ini tempat
duduk saya ko, masnya mungkin keliru.”
Ucap wanita itu dengan begitu PD.
“Mmmm…. engga ko mbak, kita udah bener.” Jawab Laki-laki yang membangunkannya
dengan ekspresi sedikit agak ragu, lalu meminta tiket kepada teman yang ada di belakangnya,
lalu memberikan lembaran tiket itu kepada sang wanita.
Saat wanita itu memperhatikan tiket milik kedua
laki-laki itu. Tertulis 10-A/2 dan 10-B/2.
“Maaf mas, masnya salah gerbong.” Ucap wanita
itu sambil menyerahkan kembali tiket kedua laki-laki yang membangunkannya.
“Engga ko
mbak, saya ga salah, bener ini gerbong saya yang ada di tiket.” Sahut lelaki
yang membangunkannya.
“Jelas-jelas ditiket mas tertulis gerbong dua,
sedangkan ini gerbong tiga. Gerbong mas itu yang di depan.” Ucap wanita itu sambil
menunjuk arah pintu yang mengarah ke gerbong depan.
Kedua laki-laki itu saling pandang keheranan.
“Mungkin tadi kamu salah merhatiin arahan Praminya.” Ucap teman yang ada dibelakangnya
sambil berbisik dan menepuk bahu laki-laki yang membangunkan wanita itu. “Udah ayo,
kita ke depan aja. Mungkin gerbong kita emang yang di depan.”
“Tapi...” sahut laki-laki yang
membangunkan wanita itu.
“Udah ayo.” Ucap temannya sambil menarik
bahu laki-laki yang membangunkan wanita itu. “mungkin bener yang di depan.”
“Oke deh.” Ucap laki-laki yang membangunkan
wanita itu. “Ya udah mbak kalo gitu, maap udah ganggu tidurnya. Mari, mbak.” Pamit
kedua laki-laki itu.
Wanita itu menyunggingkan senyum dengan
terpaksa. Namun, tak bisa menyembunyikan ekspresi kesal diwajahnya.
Sambil berjalan ke arah depan, kedua laki-laki
itu saling berbicara, dan lelaki yang membangunkan wanita itu meyakini bahwa ia,
tak salah gerbong. Sedangkan yang satu bersikukuh lebih baik ke depan saja daripada
harus salah dan menanggung malu.
Wanita itu tak bisa tidur lagi setelah tidurnya
terganggu. Dia pun memilih untuk memerhatikan kembali hiruk pikuk stasiun yang
cukup ramai, namun tak seramai stasiun keberangkatannya.
Tak lama, kedua laki-laki itu muncul dan menghampiri
lagi wanita itu.
Saat mereka ada di hadapan wanita itu, laki-laki
yang membangunkan sang wanita pun langsung berucap. “Maap mbak, ini bener tempat
duduk kita, kok, Ini gerbong dua,
mbak bukan tiga.”
Saat temannya sedang berucap kepada wanita
yang menduduki kursi mereka, laki-laki yang satu memperhatikan sekeliling gerbong.
Saat mendapatkan apa yang dicarinya, dia pun berujar pada wanita itu.
“Tuh mbak kalo ga percaya.” Ucapnya sambil
menunjuk ke arah ujung gerbong tepat di bawah Televisi yang tertanam di tembok gerbong
kereta.
Wanita itu menoleh ke arah yang ditunjukkan
laki-laki satunya. Ia pun terkaget melihat angka yang tercetak diplakat yang
tersemat di dinding gerbong itu. seketika rasa malu mencemoohnya.
Di dinding itu tertulis angka 2 yang
berada di dalam suatu persegi dengan garis merah, dengan ukuran yang tak terlalu
besar.
“Siaaaaal..!!!
gue salah gerbong.” umpat pikiran
wanita itu.
“Mbak...???” Sapa laki-laki itu menyadarkan
sang wanita dari keterkejutannya.
Pipi wanita itu sudah berubah menjadi merah,
karena rasa malu. Dia tak mampu berucap banyak, hanya bisa cengengesan dan meminta
maaf. Sambil sesegera berdiri lalu mengambil ranselnya dan menuju tempat duduk yang
menjadi miliknya.
“Mbak?”sapa Nugi sambil melambaikan tangan
yang diikuti gerakan dari lembaran tiket yang dipegangnya.
“Eh...”
wanita itu tersadar. “E... engga, mas.” Wanita itu tersenyum kikuk. “Ini bener kok tempat duduk mas...”
Sebelum wanita itu menyelesaikan ucapannya,
Nugi langsung memotong ucapan wanita itu. Berarti bener dong ini tempat duduk saya?”
“I...iya ini emang deret tempat duduk mas.
Tapi kursi punya mas yang ini.” Ucap wanita itu sambil menunjuk kursi kosong di
sebelah Nugi. “Dan kursi itu kursi punya saya.” Wanita itu menerangkan kepada Nugi
kalau A itu yang di samping jendela, dan B yang di samping jalan. “Tuh tandanya ada di dinding mas.” Ucap
wanita itu sambal mengarah ke dinding yang tertanam TV dan angka gerbong.
Terlihat plakat berbentuk persegi panjang kecil yang memuat symbol kursi dan di
sampingnya tertera tulisan huruf A-B sesuai dengan penjelasan si wanita kepada
Nugi.
Mendengar penjelasan wanita itu, Nugi merasa
malu karena sudah salah tapi tetep ngotot. Nugi hanya mampu berkata. “Oh...” lalu
berdiri keluar dari deretan kursi 10 A-B. “Silahkan, mbak.” Ucap Nugi
mempersilahkan sesopan mungkin dengan senyum yang kikuk.
Wanita itu pun duduk dikursinya, lalu diikuti
Nugi yang duduk di sebelah wanita itu.
Hanya keheningan yang sesekali dipecah oleh
teriakan pluit kereta yang begitu nyaring dan memekakkan telinga. Seperti
sedang memanggil-manggil para penumpangnya yang belum naik.
***
Setelah meninggalkan stasiun teriakan pluit
kereta itu seperti kegirangan bersemangat untuk mengantar para penumpang menuju
tujuannya masing-masing.
Diam-diam Nugi memperhatikan wanita itu yang
sedang melamun sembari menatap pemandangan yang disuguhkan Tuhan, sambil menggunakan
headset yang menggantung ditelinganya.
Seketika suhu dingin yang disebabkan oleh AC
kereta, menusuk-nusuk tubuh Nugi, walaupun dia sudah menggunakan jaketnya. Namun,
suhu dingin itu mampu menyelinap melalui celah-celah jaketnya.
Sesekali Nugi menggosok-gosokkan kedua tangannya.
Namun, lama-kelamaan dia merasa pegal.
Nugi pun memasukkan kedua tangannya kemasing-masing
saku yang tersemat dijaketnya. Berharap saku jaketnya mampu melindungi
tangannya dari rasa dingin yang begitu mesra memeluk tubuhnya.
Perlindungan saku jaketnya tak bertahan lama,
dan akhirnya mampu diterobos juga oleh si suhu dingin. Nugi memperhatikan lagi
wanita disebelahnya. Masih saja menatapi jendela. Sepertinya ada yang sedang
membebani pikiran wanita itu, tebak insting Nugi.
“Kuat
banget ini cewe sama dingin.” Gumamnya dalam hati saat dia memperhatikan wanita
itu diam-diam.
Merasa bosan karena diam saja, akhirnya
nugi memutuskan untuk bermain game diHPnya, setidaknya ia berharap itu bisa
membantunya melupakan rasa dingin yang mendekap tubuhnya.
Notifikasi batre lemah pun muncul ketika
beberapa lama Nugi memainkan game diHPnya. Nugi yang melihat ada dua soket
listrik yang berada tepat di bawah meja kecil yang menimpel pula di dingin.
Namun, Nugi merasa segan untuk memohon permisi ikut men-charger HPnya kepada wanita itu, karena kabel charger nya akan membuat si wanita tak nyaman saat duduk.
“Permen, mbak?” tawarinya sambil menyodorkan
tangannya yang berserakan permen ke arah wanita itu.
Wanita yang sedang melamun itu merasa kaget,
saat tiba-tiba sebuah tangan yang berserakan permen berhenti tepat didekat wajahnya.
Lalu dia menoleh kearah Nugi sambil melepas sebelah headset yang menggantung ditelinganya.
“Permen, mbak?” ulang Nugi.
“Hmmm...” wanita itu seperti sedang
menimbang sesuatu. “Engga, mas. Terima kasih.” Ucap wanita itu dengan ramah. Tersirat
senyuman yang membuatnya semakin manis, bahkan bagi Nugi lebih manis dibanding permen
yang ia tawarkan.
Nugi pun menyimpan permen-permen itu ke atas
meja kecil yang tergantung di dinding kereta, tepat di sebelah botol air mineral
wanita itu. “Kalau mau, ambil aja ya, mbak!” ucap Nugi sambil meraih satu permen,
lalu memakannya.
Wanita itu hanya menjawab dengan senyumannya.
Sebelum wanita itu sempat menggantungkan kembali
headset ditelinganya, Nugi menyapanya
kembali.
“Eh, mbak?”
Wanita itu menoleh kembali kepada Nugi dan
menunda keinginannya untuk meng-gantungksn kembali headset-nya. “Iya, kenapa mas?”
“Saya boleh ikut nge-charger HP?” tanya Nugi dengan sungkan.
“Oh iya silahkan mas.”
Nugi pun memasang steker charger-nya ke soket listrik yang ada di
dinding kereta. “Makasih, mbak.”
“Iya sama-sama, mas.”
Sejenak keheningan melingkupi mereka.
Tiba-tiba wanita itu menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya seperti
sedang melepaskan beban yang bercokol dihatinya, dan menyunggingkan senyuman sambil
menatap pemandangan diluar.
“Ke Bandung, mas?” ucapan wanita itu
memecah kecanggungan di antara mereka.
“Iya,mbak.”
“Liburan?” sepertinya wanita itu sedang
mengorek sesuatu kepada Nugi, atau hanya karena jenuh, entahlah.
“Engga mbak, saya mau kuliah. Kalo mbak?”
“Saya mau pulang, mas. Habis liburan dari
rumah tante.”
“Oh...” Nugi terdiam, seperti sedang
berpikir. “Katanya, Bandung dingin ya, mbak?” tanya Nugi basa-basi.
“Menurut saya sih” wanita itu menaikkan bola
matanya ke atas, menyebabkan keningnya mengkerut, sepertinya dia sedang menimbang
sesuatu untuk menjawab pertanyaan Nugi. “Kalo menurut saya engga dingin ko’ mas.
Tapi, kalo kata temen-temen saya yang baru ke Bandung sih katanya Bandung itu dingin
banget, mas.”
“Hah? Masa sih, mbak?” Wajah ceria Nugi mendadak menjadi mengkerut, seperti
seorang yang sedang dipecundangi rasa takut.
“Iya, itu sih kata temen-temen saya, mas.”
Ucapnya sambil mengangguk-angguk.
“Eh… ko’ nanya gitu? Emang belum pernah ke
Bandung?” Tanya wanita itu dengan heran.
“Belum, mbak.” Nugi tersenyum. “Ini kali pertama
saya ke Bandung.”
“Oh... ya siapin aja selimut yang tebel, sama
jaket yang tebel juga, mas. Soalnya kalo musim hujan, bisa-bisa lebih dingin
dari itu.” Ucap wanita itu sambil melirik AC diatas kepalanya.
Mendengar ucapan wanita itu, Nugi semakin menciut,
ketakutan-ketakutannya dengan seketika menyerang, mempecundanginya hingga telak.
Wanita itu menangkap ekspresi Nugi yang ketakutan.
“Engga usah khawatir gitu mas,” lanjut wanita itu dengan senyum manisnya. “Bandung
itu kota yang bakal bikin nyaman, dan juga kota yang bakal bikin berkesan. Bahkan
orang-orang Eropa jaman dulu ngasih julukan Paris Van Java, ke kota Bandung.”
“Ko bisa?” tanya Nugi penasara.
“Katanya sih suasananya hampir sama kaya Paris,
mas. Tapi, entahlah mas.” Ungkapan lanjutan wanita itu membuat Nugi teringat dengan
mimpinya. Dia ingin sekali ke Paris, berkunjung ke Louvere, Eifel, bahkan
sempat berkeinginan untuk kuliah di sana.
Dia baru menyadari bahwa Bandung dijuluki Paris
Van Java. Itu membuat jiwanya membesar. “Kalo
di Bandung aja ga kuat, gimana kalo nanti ke Paris?” batinnya berujar.
Nugi teringat ungkapan Tuhan tau apa yang kita butuhkan, bukan
sekedar yang kita inginkan.
“Mungkin
ini suatu pertanda.” Pikirnya berujar, tak sadar senyuman tersirat diwajahnya.
“Disetiap kejadian emang selalu ada hikmahnya.”
Perlahan Nugi pun melupakan kehancurannya saat menerima kenyataan harus berkuliah
di Bandung.
“Ya semoga aja, mbak. Bandung bisa nyaman buat
saya.” Nugi tersenyum pada wanita disampingnya.
“Aamiin...” sahut wanita itu, menanggapi ucapan
Nugi.
Mereka pun ngobrol kesana-kemari. Terlihat
mereka semakin akrab.
Dari perbincangan dengan wanita itu, Nugi menjadi
tau tentang Bandung, walau hanya sedikit. Ia pun lupa dengan kehancurannya saat
menerima kenyataan harus berkuliah di Bandung.
Dan Nugi semakin yakin, bahwa rencana
Tuhan pasti akan selalu indah bagi hamba-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar