Jumat, 08 September 2017

5. Peninggalan

Kala itu, suhu Bandung begitu dingin. Sama seperti yang diucapkan wanita itu kepada Nugi saat di kereta.
Nugi mengantarkan wanita itu tepat di depan sebuah rumah dengan desain yang elegan dan modern dengan tampilan minimalis.
Pembicaraan mereka ikut terhenti ketika langkah mereka berdua terhenti tepat di depan pintu rumah itu.
Saat kata-kata tak ada lagi yang bisa terucap di antara mereka, sorot mata yang kini saling memandang begitu lekat, begitu dalam. Menerobos dan menembus tepat ke dalam hati mereka, satu sama lain.
Perlahan, mata mereka terpejam. Wajah yang perlahan saling mendekat, seperti ada yang memikat. Ketika hembusan nafas yang begitu hangat keluar dari hidung mereka masing-masing. Saling membelai mesra pipi di antara mereka, satu sama lain.
Saat kecupan akan menjadi kata-kata pengganti suara. Dan cinta akan tercurah langsung antara hati dan hati, melalui saraf-saraf bibir yang suci, dan haus akan sentuhan.
Tiba-tiba saja saku celana sebelah kanannya bergetar, membuat Nugi tersadar dari tidurnya. “Huh… Mimpi.” Nugi merasa sedikit dongkol.
HPnya masih saja terus bergetar. Nugi ingin sesegera menjawab telfon masuk itu. Namun ia tak kuasa untuk mengusik sang wanita yang sedang tertidur dengan begitu tenang dan nyaman bersandar di bahunya.
Akhirnya Nugi memutuskan untuk menekan tombol kunci di HP nya, dan seketika getaran HP nya pun terhenti.
Nugi berusaha menikmati situasi itu, membiarkan wanita itu terus tidur bersandar di bahunya. Meskipun pikirannya terus bertanya-tanya siapa yang tadi menelfonnya, karena ia takut itu adalah sebuah panggilan yang penting.
Nikmati saja, jika si wanita ini terbangun nanti kamu bisa kan menelfon balik orang yang tadi nelfon.” Pikirannya berucap, dan Nugi pun menyetujui ucapan pikirannya.
Tak lama wanita itupun terbangun dari tidurnya. Ia terkejut dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Tertidur bersandar pada sebuah bahu milik seorang lelaki yang tak dikenalnya.
Wanita itupun langsung menegakkan tubuhnya. “Maap, mas.” Ucap wanita itu dengan pipinya yang merona semu kemerahan.
Seketika Nugi yang juga jadi salah tingkah pun hanya mampu berkata. “Ga apa-apa, mbak.” Jawabnya dengan canggung.
Untuk menyamarkan kecanggungannya Nugi pun meraih HP di sakunya, lalu ia menelpon nomor yang panggilannya tadi tak terjawab Nugi.
“Hallo, mas? Ada apa?”
“Udah sampe mana, Gi?” tanya Kakaknya di seberang telfon.
Nugi terlihat berpikir. Namun, dia tak tau sudah di mana, stasiun sebelumnya yang tak lama terlewati saja tak diperhatikan namanya karena dia sedang terlelap dalam mimpi indah yang begitu liar. Merasa tak menemukan jawaban, Nugi melihat jam yang melingkar di tangannya.
Jam itu pemberian kekasihnya beberapa hari sebelum keberangkatan Nugi ke Bandung. Aku mungkin jauh, ga bisa megangin tangan kamu, saat kamu sedih, saat kamu jatuh, atau saat kamu terpuruk butuh support. Tapi seengganya ini bisa bikin tangan kamu selalu aku pegangin biar kamu ga pernah ngerasa sendirian. Ucap kekasihnya saat itu sambil menyematkan jam di lengan Nugi.
“Ga tau ini udah sampe mana. Tapi kalo liat di jadwal sih kurang lebih sekitar satu setengah jam lagi bakal sampe.”
“Ya udah kalo gitu, nanti mas kasih nomer mu ke temen mas, si Arga. Dia yang bakal jemput kamu di sana.”
“Iya mas, makasih.”
“Oke, jaga dirimu baik-baik, ya!”
Tak lama sambungan telfon itu terputus. Nugi menyimpan kembali HP ke dalam sakunya.
Nugi berusaha berekspresi seperti tak pernah terjadi kejadian apa-apa antara dirinya dan wanita itu. Sedangkan wanita itu terlihat seperti sedang berpikir dengan begitu keras, atau mungkin dia sedang dilanda rasa cemas agar tak terjadi salah paham di antara mereka berdua.
Keheningan menyelubungi mereka berdua, namun keriuhan menguasai pikiran mereka masing-masing.
Hening pun dipecah oleh sang wanita, wanita itu berucap dengan intonasi yang begitu canggung. “Mmmm…eh, maap ya, itu tadi…” wanita itu terdiam, memikirkan kata-kata yang pas untuk diucapkannya. Namun, ia tak bisa menemukan kata yang pas untuk diucap.
Nugi memperhatikan dengan serius wajah wanita itu yang merona merah akibat malu. Melihat wanita itu terdiam cukup lama. Nugi pun sudah menyadari ke mana tujuan pembicaraan wanita itu.
Tanpa menunggu wanita itu menyelesaikan perkataannya, Nugi langsung menjawab. “Ga apa-apa ko, mbak.” Jawab Nugi sambil tersenyum. “Mau selamanya bersandar juga ga apa-apa, mbak.” Lanjutnya dalam hati.
“I…iya, mas. Sekali lagi maaf banget ya, itu ga sengaja.” Ucap wanita itu sambil meletakkan kedua tangannya yang saling menyatu tepat di depan wajahnya.
“Iya, mbak. Ga apa-apa, udah lupain aja, mbak.”
Tiba-tiba HPnya bergetar lagi. Nugi pun meraihnya dari saku. “Nomor baru.” Dahinya mengernyit seperti sedang berpikir. “Arga kali ya?” ucap hatinya.
Nugi mengangkat telfon yang masuk itu.
“Hallo? Nugi?” suara seorang laki-laki terdengar di seberang sana dengan intonasi suara yang bersahabat dan ramah. Namun, Nugi tak mengenali suara itu. “Siapa?” hatinya bertanya-tanya, serta pikirannya berusaha keras menginat. Namun, dia tak menemukan pemilik suara itu di memori pikirannya.
Nugi pun akhirnya bertanya kepada pemilik suara itu. “Iya, maaf ini siapa?”
Owalaahh… jadi dia belum ngasih nomer aku sama kamu, Gi?” suara lelaki di seberang menggerutu. “Aku Arga, Gi. Temennya Fandy.”
“ooh…. Mas Arga. Saya kira siapa. Maaf mas, saya ga tau. Iya, mas Fandy belum ngasih nomernya mas sih hehe….”
“Ya…ya…ya… woles Gi.” Jawab Arga sambil tertawa. “Udah di mana nih? Biar aku bisa atur waktu buat merapat ke stasiun.”
“Hmmm….” Nugi melihat jam di tangannya. “Kurang tau mas. Tapi, kalo diliat dijadwal sih kurang dari satu jam lagi sampe Bandung.”
“Oke deh, sebentar lagi aku merapat, Gi. Semoga aja ga macet. Kabarin aja kalo udah sampe di stasiun ya!”
“Oke, siap mas. Makasih banyak mas, maap nih udah ngerepotin.” Nugi tersenyum.
“Ah, ga apa-apa, Gi. Manusia itu udah kodratnya harus saling tolong menolong.”
“Hehehe… iya mas.”
“Oke deh, Gi. Nanti kalo aku sampe duluan aku kabarin kamu, Gi.”
“Siap, mas.”
Sambungan telfon pun terputus.
Nugi mencuri pandang kepada Maha Karya Tuhan yang ada di sebelahnya.
“Cantik juga ya” gumamnya dalam hati.
Begitu lekat Nugi memandanginya, hingga dia tak sadar dengan gerakan wanita itu menoleh ke arahnya.
“Hey…???” sapa wanita itu dengan ramah sambil tersenyum.
Telak!!! Nugi tertangkap basah, membuatnya tak bisa berkata-kata hingga akhirnya salah tingkah.
“Udah deket Bandung nih, udah kerasa kan dingin-dinginnya?” sambil menyilangkan kedua tangan di depan tubuhnya. “Coba aja kacanya bisa dibuka, pasti udaranya seger banget.”
Nugi hanya mampu menjawab dengan senyuman, mulutnya menjadi bisu karena malu.
“Di Bandung nanti tinggal di mana?”
“Belum tau, mbak.”
“Loh, ko?” mata wanita itu terbelalak, dahinya mengkerut. Wanita itu kaget mendengar jawaban Nugi. “Serius, mas?” tanya wanita itu kembali.
“Iya, Serius mbak.” Jawab Nugi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seperti sedang meyakinkan wanita itu.
“Terus?” wanita itu coba mengorek lebih dalam.
“Ya paling tinggal di kontrakan temennya kaka saya dulu mbak, untuk sementara, sampe nanti dapet kost. Cuman saya ga tau kontrakannya di daerah mana, tapi katanya nanti dijemput di Stasiun, mbak.”
“Oh saya kira…” wanita itu tak menyelesaikan ucapannya, membiarkan kata-katanya lenyap dipikirannya bersama tawanya yang tersirat begitu jail.
“Kirain apa, mbak?” tanya Nugi penasaran.
“Eh… e…engga mas, ga apa-apa ko.” Jawab wanita itu sambil tersenyum kikuk.
Akhirnya mereka pun tiba di Bandung, kereta sudah mendekati area stasiun. Kecepatan kereta pun sudah semakin melambat. Hingga akhirnya berhenti dengan gagah dilintasannya, tepat di bawah naungan atap stasiun yang begitu kokoh.
“Ah… akhirnya sampai juga.” Ucap wanita itu sambil mengangkat kedua tangannya, meregangkan badannya.
“Selamat datang di kota Bandung, Parisnya Jawa, mas.” Ucap wanita itu, lalu ia mengemasi barang-barangnya.
“Iya, mbak.” Balasnya sambil melempar senyuman.
Saat wanita itu sedang sibuk mengemasi barang-barangnya, Nugi sedang sibuk menghubungi Arga, untuk mengabari ketibaannya di Bandung.
“Coba aja tau alamat kontrakannya. Siapa tau kita satu arah. Soalnya aku dijemput.” Ucap wanita itu sambil mengaitkan ransel dipundaknya.
“Hahaha… makasih banget loh, mbak.”
“Ya sudah kalo gitu, saya duluan ya, mas.” Pamit wanita itu sambil melambaikan tangannya.
“Iya, mbak. Hati-hati.” Balas Nugi sambil melambaikan tangan.
“Semoga kita bisa bertemu lagi, mas.” Ucap wanita itu sambal berlalu.
“Aamiin…” ucap Nugi pelan.
Wanita itu membalik badan, lalu menuju pintu, untuk sesegera turun.
Arga masih saja belum dapat dihubungi. Seketika rasa kesal dan kecewa menyelimuti Nugi. Namun, Nugi berusaha berpikir positif. “Mungkin ga ada sinyal, atau habis batrenya.” Ucap pikirannya.
 Nugi pun mengemasi barangnya, saat mengecek untuk terakhir kalinya, Nugi melihat ke arah bagasi, meja kecil yang menempel di dinding, lalu kursi. Ia takutk ada barangnya yang tertingga.
Namun, saat Nugi memperhatikan lantai kreta, dia melihat sebuah buku tertelungkup. “Buku apaan tuh?” pikirnya dalam hati.
Nugi pun meraih buku tersebut, lalu melihat cover depannya tertulis Kahlil Gibran Sayap-Sayap Patah dan petikan quote "oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkan sayap patahku." yang tercetak dicover buku itu.
kayanya punya cewe tadi deh.” Pikirnya.
Dengan sesegera Nugi mengemasi barang bawaannya, lalu meraih semuanya, dan sesegera turun dari kereta, sambil menenteng sebuah buku yang ditemukannya tadi. Ia berharap belum terlambat untuk dapat menemukan wanita itu lagi.
Seturunnya dari kereta, Nugi mencari petunjuk jalan keluar. Ia mendapati dua tanda keluar, Nugi pun bingung harus memilih melangkahkan kaki ke pintu keluar yang mana.
“Utara, apa Selatan ya?” coba dia tanya pada pikirannya.
Dengan instingnya, Nugi berlari menuju pintu Utara, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia terus berusaha mengedarkan pandangannya, berharap dapat menemukan wanita itu sebelum dia meninggalkan stasiun.
Setibanya di pintu keluar, Nugi melihat begitu banyak orang yang lalu lalang, bersantai menunggu keberangkatan, mengantri dengan gusar karena takut tiket harapannya habis. Dan hiruk pikuk yang lainnya, yang membuat stasiun itu semakin berwarna dan hidup.
Mencari jarum ditumpukan jerami, nih!” pikiran negatifnya bersuara, berharap Nugi mengurungkan niatnya.
Tak apalah, semoga aja sempet, sekalian kenalankan? Toh dari tadi ngobrol tapi kita lupa bertukar nama karena keasikan atau mungkin saking terpesona kecantikannya.” Pikiran positifnya coba mendebat agar semangat Nugi kembali lagi.
Ah ya… gila! Dari tadi asik ngobrol dan bercanda, tapi nama aja ga tau.” Cibirnya dalam hati.
Setelah tekadnya bulat, Nugi mengitari stasiun sambil mengedarkan pandangannya, ke kiri, kanan, depan dan belakang, Sambil menggenggam buku milik wanita itu ditangannya. Seperti seorang nelayan yang melempar jaringnya ke lautan.
Tiba-tiba HP nya bergetar. Nugi pun meraih HP dari sakunya, dan mengangkat telpon yang masuk, sambil tetap mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun.
“Gi, di mana? Sorry tadi HP ku mati.”
“Eh, mas. Udah di Stasiun Utara nih, kalo masnya di mana? Udah di stasiun?”
“Ah untung kamu ga salah keluar stasiun.” Ucap Arga sambil tertawa “di sebelah mananya kamu, Gi?”
“Pas depan pintu stasiun yang langsung menghadap ke loket, mas.”
“Ya sudah, tunggu aja di situ. Aku ke sana sekarang.”
“Oke mas.”
Sambungan telfon terputus. Nugi masih mengedarkan pandangannya. Namun, bukan tuk mencari Arga. Melainkan untuk mencari wanita itu, entahlah siapa namanya, Nugi tak tau karena tak sempat terpikir untuk berkenalan.
Tak lama, Arga pun menelpon kembali.
“Di mana, Gi? Aku udah di depan pintu masuk stasiun nih. Coba lambaikan tangan, Gi.” Tanya Arga sambil mengedarkan pandangannya.
Nugi pun mengikuti instruksi Arga, walau dengan sedikit canggung.
Ternyata Nugi dan Arga hanya berjarak tak begitu jauh, membuat Arga mudah melihat tangan Nugi.
“Oke, aku ke situ sekarang, Gi.” Arga pun mematikan sambungan telponnya dan menghampiri Nugi.
“Gi?” sapa seseorang yang menghampiri dirinya.
Nugi memalingkan wajahnya kea rah suara, melihat seorang lelaki menghampirinya ia sudah menyadari siapa itu. “Ah… mas Arga, ya?”
Mereka pun saling bersalaman, lalu mulai berbasa-basi. Namun Nugi tetap saja mengedarkan pandangannya ke sekitaran Stasiun.
“Kenapa, Gi?” tanya Arga.
“Ga apa-apa, mas.” Jawab Nugi gelagapan.
“Oh ya udah kalo gitu, yuk kita cabut.”
“I…iya mas.” Sahut Nugi yang menjadi tak semangat, dan mengikuti langkah Arga menuju mobilnya di parkiran.
Saat dirinya sudah duduk di dalam mobil sambil memandangi buku yang dipegangnya, hati Nugi meracau “Sial, gagal!!!” ia pun menghembuskan nafasnya berharap kekecewaan itu enyah bersama hembusan nafas yang keluar.
“Kenapa, Gi?” tanya Arga yang melihat ekspresi Nugi.
“E…engga apa-apa mas, cuman cape aja nih.”
“Oh…” Arga tertawa “Ya iyalah, gimana ga cape, perjalanan jauh gitu.”
Nugi ikut tertawa dengan dipaksakan “Iya, mas.”
“Ya udah, kita langsung kontrakan aja kalo gitu.”
“Siap, mas.”
Mobil Arga melesat meninggalkan Stasiun, namun kekecewaan Nugi tentang harapannya untuk dapat berkenalan degan wanita itu yang cukup tinggi masih terbawa dalam benak Nugi.

0 komentar:

Posting Komentar

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com