Kala itu, suhu Bandung begitu
dingin. Sama seperti yang diucapkan wanita itu kepada Nugi saat di kereta.
Nugi mengantarkan wanita itu
tepat di depan sebuah rumah dengan desain yang elegan dan modern dengan
tampilan minimalis.
Pembicaraan mereka ikut
terhenti ketika langkah mereka berdua terhenti tepat di depan pintu rumah itu.
Saat kata-kata tak ada lagi
yang bisa terucap di antara mereka, sorot mata yang kini saling memandang
begitu lekat, begitu dalam. Menerobos dan menembus tepat ke dalam hati mereka,
satu sama lain.
Perlahan, mata mereka
terpejam. Wajah yang perlahan saling mendekat, seperti ada yang memikat. Ketika
hembusan nafas yang begitu hangat keluar dari hidung mereka masing-masing. Saling
membelai mesra pipi di antara mereka, satu sama lain.
Saat kecupan akan menjadi
kata-kata pengganti suara. Dan cinta akan tercurah langsung antara hati dan
hati, melalui saraf-saraf bibir yang suci, dan haus akan sentuhan.
Tiba-tiba saja saku celana
sebelah kanannya bergetar, membuat Nugi tersadar dari tidurnya. “Huh… Mimpi.” Nugi merasa sedikit
dongkol.
HPnya masih saja terus
bergetar. Nugi ingin sesegera menjawab telfon masuk itu. Namun ia tak kuasa
untuk mengusik sang wanita yang sedang tertidur dengan begitu tenang dan nyaman
bersandar di bahunya.
Akhirnya Nugi memutuskan
untuk menekan tombol kunci di HP nya, dan seketika getaran HP nya pun terhenti.
Nugi berusaha menikmati
situasi itu, membiarkan wanita itu terus tidur bersandar di bahunya. Meskipun pikirannya
terus bertanya-tanya siapa yang tadi menelfonnya, karena ia takut itu adalah
sebuah panggilan yang penting.
“Nikmati saja, jika si wanita ini terbangun nanti kamu bisa kan menelfon
balik orang yang tadi nelfon.” Pikirannya berucap, dan Nugi pun menyetujui
ucapan pikirannya.
Tak lama wanita itupun
terbangun dari tidurnya. Ia terkejut dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
Tertidur bersandar pada sebuah bahu milik seorang lelaki yang tak dikenalnya.
Wanita itupun langsung
menegakkan tubuhnya. “Maap, mas.” Ucap wanita itu dengan pipinya yang merona
semu kemerahan.
Seketika Nugi yang juga jadi
salah tingkah pun hanya mampu berkata. “Ga apa-apa, mbak.” Jawabnya dengan
canggung.
Untuk menyamarkan
kecanggungannya Nugi pun meraih HP di sakunya, lalu ia menelpon nomor yang
panggilannya tadi tak terjawab Nugi.
“Hallo, mas? Ada apa?”
“Udah sampe mana, Gi?” tanya
Kakaknya di seberang telfon.
Nugi terlihat berpikir.
Namun, dia tak tau sudah di mana, stasiun sebelumnya yang tak lama terlewati
saja tak diperhatikan namanya karena dia sedang terlelap dalam mimpi indah yang
begitu liar. Merasa tak menemukan jawaban, Nugi melihat jam yang melingkar di tangannya.
Jam itu pemberian kekasihnya
beberapa hari sebelum keberangkatan Nugi ke Bandung. Aku mungkin jauh, ga bisa megangin tangan kamu, saat kamu sedih, saat
kamu jatuh, atau saat kamu terpuruk butuh support. Tapi seengganya ini bisa
bikin tangan kamu selalu aku pegangin biar kamu ga pernah ngerasa sendirian.
Ucap kekasihnya saat itu sambil menyematkan jam di lengan Nugi.
“Ga tau ini udah sampe mana. Tapi
kalo liat di jadwal sih kurang lebih sekitar satu setengah jam lagi bakal
sampe.”
“Ya udah kalo gitu, nanti mas
kasih nomer mu ke temen mas, si Arga. Dia yang bakal jemput kamu di sana.”
“Iya mas, makasih.”
“Oke, jaga dirimu baik-baik,
ya!”
Tak lama sambungan telfon itu
terputus. Nugi menyimpan kembali HP ke dalam sakunya.
Nugi berusaha berekspresi
seperti tak pernah terjadi kejadian apa-apa antara dirinya dan wanita itu.
Sedangkan wanita itu terlihat seperti sedang berpikir dengan begitu keras, atau
mungkin dia sedang dilanda rasa cemas agar tak terjadi salah paham di antara
mereka berdua.
Keheningan menyelubungi
mereka berdua, namun keriuhan menguasai pikiran mereka masing-masing.
Hening pun dipecah oleh sang
wanita, wanita itu berucap dengan intonasi yang begitu canggung. “Mmmm…eh, maap
ya, itu tadi…” wanita itu terdiam, memikirkan kata-kata yang pas untuk
diucapkannya. Namun, ia tak bisa menemukan kata yang pas untuk diucap.
Nugi memperhatikan dengan
serius wajah wanita itu yang merona merah akibat malu. Melihat wanita itu
terdiam cukup lama. Nugi pun sudah menyadari ke mana tujuan pembicaraan wanita
itu.
Tanpa menunggu wanita itu
menyelesaikan perkataannya, Nugi langsung menjawab. “Ga apa-apa ko, mbak.”
Jawab Nugi sambil tersenyum. “Mau
selamanya bersandar juga ga apa-apa, mbak.” Lanjutnya dalam hati.
“I…iya, mas. Sekali lagi maaf
banget ya, itu ga sengaja.” Ucap wanita itu sambil meletakkan kedua tangannya
yang saling menyatu tepat di depan wajahnya.
“Iya, mbak. Ga apa-apa, udah
lupain aja, mbak.”
Tiba-tiba HPnya bergetar lagi.
Nugi pun meraihnya dari saku. “Nomor
baru.” Dahinya mengernyit seperti sedang berpikir. “Arga kali ya?” ucap hatinya.
Nugi mengangkat telfon yang
masuk itu.
“Hallo? Nugi?” suara seorang
laki-laki terdengar di seberang sana dengan intonasi suara yang bersahabat dan
ramah. Namun, Nugi tak mengenali suara itu. “Siapa?” hatinya bertanya-tanya, serta pikirannya berusaha keras
menginat. Namun, dia tak menemukan pemilik suara itu di memori pikirannya.
Nugi pun akhirnya bertanya kepada
pemilik suara itu. “Iya, maaf ini siapa?”
“Owalaahh… jadi dia belum ngasih nomer aku sama kamu, Gi?” suara
lelaki di seberang menggerutu. “Aku Arga, Gi. Temennya Fandy.”
“ooh…. Mas Arga. Saya kira
siapa. Maaf mas, saya ga tau. Iya, mas Fandy belum ngasih nomernya mas sih hehe….”
“Ya…ya…ya… woles Gi.” Jawab Arga sambil tertawa.
“Udah di mana nih? Biar aku bisa atur
waktu buat merapat ke stasiun.”
“Hmmm….” Nugi melihat jam di tangannya.
“Kurang tau mas. Tapi, kalo diliat dijadwal sih kurang dari satu jam lagi sampe
Bandung.”
“Oke deh, sebentar lagi aku
merapat, Gi. Semoga aja ga macet. Kabarin aja kalo udah sampe di stasiun ya!”
“Oke, siap mas. Makasih
banyak mas, maap nih udah
ngerepotin.” Nugi tersenyum.
“Ah, ga apa-apa, Gi. Manusia
itu udah kodratnya harus saling tolong menolong.”
“Hehehe… iya mas.”
“Oke deh, Gi. Nanti kalo aku
sampe duluan aku kabarin kamu, Gi.”
“Siap, mas.”
Sambungan telfon pun
terputus.
Nugi mencuri pandang kepada
Maha Karya Tuhan yang ada di sebelahnya.
“Cantik juga ya” gumamnya
dalam hati.
Begitu lekat Nugi
memandanginya, hingga dia tak sadar dengan gerakan wanita itu menoleh ke
arahnya.
“Hey…???” sapa wanita itu
dengan ramah sambil tersenyum.
Telak!!! Nugi tertangkap basah, membuatnya tak bisa
berkata-kata hingga akhirnya salah tingkah.
“Udah deket Bandung nih, udah
kerasa kan dingin-dinginnya?” sambil menyilangkan kedua tangan di depan
tubuhnya. “Coba aja kacanya bisa dibuka, pasti udaranya seger banget.”
Nugi hanya mampu menjawab
dengan senyuman, mulutnya menjadi bisu karena malu.
“Di Bandung nanti tinggal di mana?”
“Belum tau, mbak.”
“Loh, ko?” mata wanita itu
terbelalak, dahinya mengkerut. Wanita itu kaget mendengar jawaban Nugi. “Serius,
mas?” tanya wanita itu kembali.
“Iya, Serius mbak.” Jawab
Nugi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seperti sedang meyakinkan wanita
itu.
“Terus?” wanita itu coba
mengorek lebih dalam.
“Ya paling tinggal di kontrakan
temennya kaka saya dulu mbak, untuk sementara, sampe nanti dapet kost. Cuman
saya ga tau kontrakannya di daerah mana, tapi katanya nanti dijemput di
Stasiun, mbak.”
“Oh saya kira…” wanita itu
tak menyelesaikan ucapannya, membiarkan kata-katanya lenyap dipikirannya
bersama tawanya yang tersirat begitu jail.
“Kirain apa, mbak?” tanya
Nugi penasaran.
“Eh… e…engga mas, ga apa-apa
ko.” Jawab wanita itu sambil tersenyum kikuk.
Akhirnya mereka pun tiba di
Bandung, kereta sudah mendekati area stasiun. Kecepatan kereta pun sudah
semakin melambat. Hingga akhirnya berhenti dengan gagah dilintasannya, tepat di
bawah naungan atap stasiun yang begitu kokoh.
“Ah… akhirnya sampai juga.”
Ucap wanita itu sambil mengangkat kedua tangannya, meregangkan badannya.
“Selamat datang di kota
Bandung, Parisnya Jawa, mas.” Ucap wanita itu, lalu ia mengemasi
barang-barangnya.
“Iya, mbak.” Balasnya sambil
melempar senyuman.
Saat wanita itu sedang sibuk
mengemasi barang-barangnya, Nugi sedang sibuk menghubungi Arga, untuk mengabari
ketibaannya di Bandung.
“Coba aja tau alamat kontrakannya.
Siapa tau kita satu arah. Soalnya aku dijemput.” Ucap wanita itu sambil
mengaitkan ransel dipundaknya.
“Hahaha… makasih banget loh, mbak.”
“Ya sudah kalo gitu, saya
duluan ya, mas.” Pamit wanita itu sambil melambaikan tangannya.
“Iya, mbak. Hati-hati.” Balas
Nugi sambil melambaikan tangan.
“Semoga kita bisa bertemu
lagi, mas.” Ucap wanita itu sambal berlalu.
“Aamiin…” ucap Nugi pelan.
Wanita itu membalik badan,
lalu menuju pintu, untuk sesegera turun.
Arga masih saja belum dapat
dihubungi. Seketika rasa kesal dan kecewa menyelimuti Nugi. Namun, Nugi
berusaha berpikir positif. “Mungkin ga
ada sinyal, atau habis batrenya.” Ucap pikirannya.
Nugi pun mengemasi barangnya, saat mengecek
untuk terakhir kalinya, Nugi melihat ke arah bagasi, meja kecil yang menempel
di dinding, lalu kursi. Ia takutk ada barangnya yang tertingga.
Namun, saat Nugi
memperhatikan lantai kreta, dia melihat sebuah buku tertelungkup. “Buku apaan tuh?” pikirnya dalam hati.
Nugi pun meraih buku
tersebut, lalu melihat cover depannya tertulis Kahlil Gibran Sayap-Sayap Patah dan petikan quote "oh Tuhan ampunilah aku dan sambungkan sayap patahku." yang tercetak dicover buku itu.
“kayanya punya cewe tadi deh.” Pikirnya.
Dengan sesegera Nugi
mengemasi barang bawaannya, lalu meraih semuanya, dan sesegera turun dari
kereta, sambil menenteng sebuah buku yang ditemukannya tadi. Ia berharap belum
terlambat untuk dapat menemukan wanita itu lagi.
Seturunnya dari kereta, Nugi mencari
petunjuk jalan keluar. Ia mendapati dua tanda keluar, Nugi pun bingung harus
memilih melangkahkan kaki ke pintu keluar yang mana.
“Utara, apa Selatan ya?” coba
dia tanya pada pikirannya.
Dengan instingnya, Nugi
berlari menuju pintu Utara, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia terus
berusaha mengedarkan pandangannya, berharap dapat menemukan wanita itu sebelum
dia meninggalkan stasiun.
Setibanya di pintu keluar,
Nugi melihat begitu banyak orang yang lalu lalang, bersantai menunggu
keberangkatan, mengantri dengan gusar karena takut tiket harapannya habis. Dan
hiruk pikuk yang lainnya, yang membuat stasiun itu semakin berwarna dan hidup.
“Mencari jarum ditumpukan jerami, nih!” pikiran negatifnya bersuara,
berharap Nugi mengurungkan niatnya.
“Tak apalah, semoga aja sempet, sekalian kenalankan? Toh dari tadi
ngobrol tapi kita lupa bertukar nama karena keasikan atau mungkin saking
terpesona kecantikannya.” Pikiran positifnya coba mendebat agar semangat
Nugi kembali lagi.
“Ah ya… gila! Dari tadi asik ngobrol dan bercanda, tapi nama aja ga tau.”
Cibirnya dalam hati.
Setelah tekadnya bulat, Nugi
mengitari stasiun sambil mengedarkan pandangannya, ke kiri, kanan, depan dan
belakang, Sambil menggenggam buku milik wanita itu ditangannya. Seperti seorang
nelayan yang melempar jaringnya ke lautan.
Tiba-tiba HP nya bergetar.
Nugi pun meraih HP dari sakunya, dan mengangkat telpon yang masuk, sambil tetap
mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun.
“Gi, di mana? Sorry tadi HP ku mati.”
“Eh, mas. Udah di Stasiun
Utara nih, kalo masnya di mana? Udah
di stasiun?”
“Ah untung kamu ga salah
keluar stasiun.” Ucap Arga sambil tertawa “di sebelah mananya kamu, Gi?”
“Pas depan pintu stasiun yang
langsung menghadap ke loket, mas.”
“Ya sudah, tunggu aja di situ.
Aku ke sana sekarang.”
“Oke mas.”
Sambungan telfon terputus.
Nugi masih mengedarkan pandangannya. Namun, bukan tuk mencari Arga. Melainkan
untuk mencari wanita itu, entahlah siapa namanya, Nugi tak tau karena tak
sempat terpikir untuk berkenalan.
Tak lama, Arga pun menelpon
kembali.
“Di mana, Gi? Aku udah di depan
pintu masuk stasiun nih. Coba lambaikan tangan, Gi.” Tanya Arga sambil
mengedarkan pandangannya.
Nugi pun mengikuti instruksi
Arga, walau dengan sedikit canggung.
Ternyata Nugi dan Arga hanya berjarak
tak begitu jauh, membuat Arga mudah melihat tangan Nugi.
“Oke, aku ke situ sekarang,
Gi.” Arga pun mematikan sambungan telponnya dan menghampiri Nugi.
“Gi?” sapa seseorang yang
menghampiri dirinya.
Nugi memalingkan wajahnya kea
rah suara, melihat seorang lelaki menghampirinya ia sudah menyadari siapa itu. “Ah… mas Arga, ya?”
Mereka pun saling bersalaman,
lalu mulai berbasa-basi. Namun Nugi tetap saja mengedarkan pandangannya ke sekitaran
Stasiun.
“Kenapa, Gi?” tanya Arga.
“Ga apa-apa, mas.” Jawab Nugi
gelagapan.
“Oh ya udah kalo gitu, yuk kita cabut.”
“I…iya mas.” Sahut Nugi yang
menjadi tak semangat, dan mengikuti langkah Arga menuju mobilnya di parkiran.
Saat dirinya sudah duduk di
dalam mobil sambil memandangi buku yang dipegangnya, hati Nugi meracau “Sial, gagal!!!” ia pun menghembuskan
nafasnya berharap kekecewaan itu enyah bersama hembusan nafas yang keluar.
“Kenapa, Gi?” tanya Arga yang
melihat ekspresi Nugi.
“E…engga apa-apa mas, cuman
cape aja nih.”
“Oh…” Arga tertawa “Ya
iyalah, gimana ga cape, perjalanan jauh gitu.”
Nugi ikut tertawa dengan dipaksakan
“Iya, mas.”
“Ya udah, kita langsung kontrakan
aja kalo gitu.”
“Siap, mas.”
Mobil Arga melesat meninggalkan
Stasiun, namun kekecewaan Nugi tentang harapannya untuk dapat berkenalan degan
wanita itu yang cukup tinggi masih terbawa dalam benak Nugi.
0 komentar:
Posting Komentar